Cincin bermata tiga bagian 1
Lia menolehkan kepalanya, tersadar bahunya ditapuk seseorang. "Tante pulang dulu ya, Li," ucap seorang wanita berkulit sawo matang dengan perawakan semampai. Lia tersenyum, berdiri meraih tangan wanita itu untuk mencium punggung tangannya. Wanita itu adalah adik ipar mamanya.
Wanita berkerudung hijau pupus itu membiarkan tangannya
disalami Lia. Dia menepuk bahu Lia dan berkata, "Ini, Tante kasih buat Lia
ya," sambil membuka tas di pundaknya dan meraih sesuatu. "Tapi jangan
bilang siapapun ya kalau ini dari Tante," sambungnya, memberikan sebuah
cincin bermata tiga dan memasangkannya ke jari tengah Lia. "Tante takut
Tante tari atau Tante asih malah iri, soalnya ini Tante beli buat kamu
aja," tambahnya, tersenyum senang karena cincin itu telah melingkar di jemari
Lia.
Sesaat Lia terkesima diam, hanya menatap cincin yang telah
melingkar di jarinya seakan terhipnosis. Namun, saat Tantenya menepuk sekali
lagi bahunya, Lia merasakan kesadarannya kembali. "Terima kasih,
Tante," katanya.
Lia melangkah mendekati Bu Ratmi yang sedang menggoreng ayam
untuk santapan makan malam. "Wah, aromanya lezat nih," Lia berkata
sambil mengendus-enduskan penciumannya. "Makan enak sepertinya kita malam
ini, ya, Ma?" sambungnya sambil menarik kursi makan lantas duduk
memperhatikan wanita yang telah melahirkannya.
Bu Ratmi tersenyum menoleh sejenak ke Lia, tatapannya
terkesima dengan cincin yang putri sulungnya pakai. "Cincin dari siapa,
Kak?" tanya Bu Ratmi yang memfokuskan pandangannya pada besi bulat yang
melingkar di jari tengah Lia.
Lia melirik jari tangannya, dengan sedikit mengangkat jari
yang dilingkari cincin bermata tiga itu. "Dari Tante Ririn kemarin pas dia
pamit pulang," jawabnya singkat, lantas Lia memainkan cincin itu dengan
memutar di jemarinya. "Katanya jangan bilang siapa-siapa soalnya Tante
hanya beliin tuk Lia aja," sambungnya. Bu Ratmi tertegun lantas dia
menghampiri putrinya.
"Sini, Mama pakai aja, Kak, kan kamu udah pake
cincin," ucapnya seakan cincin itu menarik dirinya untuk dipakai. Lia
menatap mamanya sejenak, lantas secepatnya gadis berkacamata itu melepaskan
cincin bermata merah dari jarinya. Bu Ratmi menerima cincin itu dan langsung
memakainya di jari manisnya.
"Astaghfirullohaladzim," sentak Lia terbangun dari
mimpinya. Gadis berparas oriental ini menutup wajahnya dengan kedua belah
telapak tangan seakan dia ingin bersamunyi dari sesuatu. Sedetik dua detik Lia
mengeleng-gelengkan kepala, menepuk perlahan kepalanya lantas dia bangkit duduk
di atas ranjang. Lia memejamkan mata lantas menarik nafas panjang dan
menghembuskannya dalam sesak tertahan.
Seperti ingin mengumpulkan ingatan dalam mimpinya, Lia diam
mematung beberapa waktu. Sontak, ketika ingatannya dititik klimaks, Lia segera
bangkit melangkah mencari ponselnya. Disambarnya kacamata lantas. Secepat
kilat, Lia langsung menelpon mamanya yang sedang pergi ke tempat Bude Lilis
temannya untuk berobat.
"Ma, coba deh buka cincin dari Tante Ririn," kata
Lia berapi-api mengungkapkan tujuannya.
"Assalamu'alaikum," lembut Bu Ratmi membalas
kata-kata putrinya.
"Eh, iya, Maaf," Lia tersipu malu merasa bersalah.
"Kenapa sih, Kak?" tanya Bu Ratmi yang tenang
menanggapi putrinya.
"Lia tadi mimpi jelek, Ma. Sekarang coba deh Mama buka
cincin itu," ucap Lia lirih. Bu Ratmi yang merasa aneh dengan tingkah Lia
segera menenangkan gadis sulungnya.
"Emang kenapa, Kak? Cincin ini bagus kok melekat di jari
Mama dan kan udah dua tahun Mama memakainya," ujarnya menjelaskan.
"Iya, tapi coba deh, Ma, Mama buka dulu cincin
itu," Lia masih mengajukan permohonan. Bu Ratmi tak segera menuruti
kemauan Lia. Dia hanya berkata, "Iya, nanti Mama buka, tapi Mama mau
selesaiin ngurutnya nih."
"Sekarang, Ma," lantang Lia memohon, namun tetap
saja Mama nya tak mengabulkannya. Bahkan Bu Ratmi lembut mengakhiri percakapan
ponsel.
Lia menimang-nimang gawai layar sentuh itu, ingatannya
kembali ke cincin pemberian Tante Ririn.
Lima bulan setelah memakai cincin itu, kondisi kesehatan Bu
Ratmi perlahan menghambat aktivitasnya sebagai perias pengantin. Berawal dari
kaki kirinya yang terasa sakit hingga lama kelamaan sulit digerakkan.
Pengobatan medis dilakukan dokter spesialis saraf telah menyatakan bahwa kondisi
saraf Bu Ratmi tak sedikitpun mengalami masalah itu berdasarkan tindakan medis
yang telah Bu Ratmi jalani. Karena Bu Ratmi hanya tak mampu menggerakkan
kakinya, seolah dia akan mengangkat besi dengan bobot sangat berat. Sedangkan
bila kaki disentuh Bu Ratmi masih bisa merasakan seperti ketika dicubit terasa
sakit, di kelitiki terasa geli, atau bila diberi obat gosok balsem atau
sejenisnya, dia masih bisa merasakan reaksi kehangatan dari obat gosok
tersebut.
Pengobatan alternatif tak ketinggalan, setiap kali ada
tetangga atau kerabat yang menyarankan tempat pengobatan alternatif, Pak
Setiawan sebagai suami selalu mengupayakan istrinya untuk dibawa ke sana.
Namun, hasilnya justru Bu Ratmi hanya dapat menggerakan sebelah tubuhnya saja.
Dia seperti lumpuh, namun kondisi medisnya sangat baik, tak ada satu pun jenis
penyakit yang dideritanya. Fisiknya lambat laun melemah karena depresi, dia
sudah jarang makan, mengeluh memikirkan penyakitnya yang tak mampu menggerakkan
kaki dan tangan kirinya, dimana di jari manis tangan kiri ada cincin bermata
tiga yang melingkar. Dengan kondisi penyakit tak jelas, Bu Ratmi sudah tak
mampu lagi bekerja, padahal banyak tawaran rias pengantin yang menunggunya.
Kondisi Bu Ratmi sangat memprihatinkan.
Tersentak Lia dari lamunannya seakan magnet menyadarkannya
untuk bertindak. Dia segera merapikan diri dan langsung menyusul orang tuanya
ke rumah Bu Lilis yang bekerja sebagai pemijat, dan suaminya, Pak Udin, adalah
seorang paranormal.
Kurang dari satu jam, Lia telah sampai di rumah Bu Lilis. Dia
menyaksikan mamanya merintih kesakitan karena Pak Udin dan Bu Lilis sedang
berusaha melepaskan cincin dari jari Bu Ratmi. Cincin itu seakan membatu
mengeras, tak bergerak sedikitpun ketika ada usaha melepaskannya dari jari Bu
Ratmi.
Lia duduk di tepi kanan mamanya yang mengerang kesakitan.
Suara Bu Ratmi lantang, jelas berteriak kesakitan, hanya kata "Aduh,
sakit, udah enggak tahan," yang keluar dari ucapannya. Tangan Lia
mengusap-usap kepala mamanya, menitikkan air mata. Lebih dari 30 menit, Lia
menahan sesak hanya bisa mengusap kepala sang mama. Namun, tiba-tiba Lia
bangkit melangkah ke kamar mandi. Dia mengambil air wudhu lantas sholat.
Setelahnya, Lia berdzikir, menaruh sebotol air mineral di depannya, dia
panjatkan semua permohonan pada Yang Maha Kuasa. Selesai, Lia meminta Bu Ratmi
untuk meminum air yang telah dia bacakan doa. Dibantu Bude Lilis, Bu Ratmi
meminum sedikit demi sedikit air mineral dengan sedotan. Reaksi pun terjadi, Bu
Ratmi muntah sejadi-jadinya. Namun, keanehan kotoran yang dikeluarkan dari
muntahannya adalah berwarna hitam pekat dengan lendiran merah. Pak Udin terus
meminta Lia untuk berdzikir selama Bu Ratmi tetap meminum air tersebut disertai
reaksinya. Pak Udin dengan kemampuan spiritualnya juga membantu melawan kejadian
supranatural dari reaksi cincin bermata tiga dengan warna merah menyala.
Lia sesegukan terisak sambil terus berdzikir. Pak Setiawan
juga tak mau kalah, lelaki yang telah membina rumah tangga dengan Bu Ratmi
selama 21 tahun ini ikut berdzikir.
Bude Lilis sabar membantu Bu Ratmi melewati masa tersulitnya.
Lunglai lemah kondisi Bu Ratmi, namun usaha melepaskan cincin tetap saja nihil.
Cincin itu benar-benar telah menyatu dengan jemari Bu Ratmi. Pak Udin nyaris
putus asa, tekadnya yang bulat membakar adrenalinya untuk membantu melepaskan
lingkaran besi itu dari jari Bu Ratmi.
Situasi semakin menegangkan, reaksi muntah Bu Ratmi kian
banyak, bahkan kini bukan cairan hitam melainkan gumpalan kuning sebesar kacang
hijau yang keluar dari mulut Bu Ratmi. Semua orang yang ada di dekat Bu Ratmi
merinding, berdecak tak percaya dengan apa yang terjadi. Bu Ratmi kini sudah
terlalu lemah hingga dia tak mampu mengeluarkan kata-kata, hanya bereaksi
muntah ketika selesai meminum air dzikir yang dibuat Lia.
Dalam ketegangan, tiba-tiba Lia mengeser duduknya mendekat ke
sisi kiri sang mama dan mengambil alih tangan kiri Bu Ratmi yang dipegang Pak
Udin. Lia menarik nafas dalam dan menghempaskannya penuh harap.
"Bismillahirrohmanirrohim," ucapnya lantas menatap lekat
cincin itu. "Hai yang bersemayam dalam cincin, kalian adalah mahluk
ciptaan Allah, atas nama Allah dan atas ijin Allah, keluarlah dari tubuh
mamaku," lantang, penuh semangat Lia berucap, meski air matanya tak mampu
menutupi dukanya. "Aku Lia, anak Bu Ratmi, meminta kalian pergi
sejauh-jauhnya dari mamaku," kembali Lia berucap sambil memutar-mutar
lingkaran besi itu. "Kejahatan itu takan abadi, hanya kuasa Allah lah yang
paling benar," ucapnya lagi sambil terus memutar cincin itu. Lia kemudian
diam, hanya mimik bibirnya yang terus bergetar tanpa suara, namun tangannya
tetap memutar-mutar cincin bermata tiga yang perlahan mulai dapat digerakan.
Mata semua orang tertuju pada gerakan Lia yang terus aktif memutar cincin itu.
Waktu seakan lama berganti, senyap hening suasana di ruangan itu. Terdengar Lia
menarik nafas dalam dan menghembusnya dalam sentakan.
"Mau keluar sekarang atau aku bakar kalian," teriak
Lia lantang. Sedetik dua detik, tiba-tiba asap hitam keluar dari dalam tiga
mata cincin mengepul di atap langit rumah, lantas keluar melalui daun pintu
yang sejak tadi terbuka. Dan seketika itu, Bu Ratmi pingsan. Cekatan Pak Udin
meraih tangan Bu Ratmi dan menarik cincin itu keluar dari jari manis tangan
kiri Bu Ratmi.