Cincin bermata tiga bagian 15
Selekas
salat Subuh, dimulailah mengurus jenazah Arya. Semua persiapan telah rapi
sesuai rencana. Jenazah Arya akan dimandikan oleh pemandi jenazah yang biasa
mengerjakannya, dan dia juga adalah teman Umi Yani. Setelah dimandikan,
rencananya jenazah Arya akan disholatkan di masjid yang letaknya masih dalam
kawasan kompleks perumahan. Pemakaman akan dilakukan jam sepuluh pagi di
pemakaman umum yang letaknya tak jauh dari kompleks perumahan Griya Indah,
tempat keluarga Pak Anto tinggal.
“Li,
lo mau ikut mandiin jenazah Tante Arya enggak?” tanya Mala pada Lia ketika
mereka telah selesai salat Subuh dan duduk di hadapan jenazah Arya. Lia
mendesah, menggeleng.
“Kenapa
Li?” kembali Mala bertanya dengan tatapan bingung.
“Kan
udah gue bilang, firasat gue memberikan
sinyal, bahwa Tante Arya itu masih hidup,” ucap Lia lirih sambil menatap lurus
ke depan, menatap jenazah Arya yang masih dibiarkan terbuka layaknya seseorang
sedang tidur pulas.
“Li,
gue ngerti perasaan lo, tapi kan kemarin dokter sudah menyatakan Tante Arya itu
sudah meninggal, jadinya lo mesti ikhlas,” kata Mala mencoba menghibur
sahabatnya dengan merangkul bahu Lia. Lia menoleh menatap Mala tak suka, dan
Mala membalasnya dengan tersenyum.
“La,
itu bukan perasaan gue semata yang sedih tuk kehilangan seorang tante, tapi ini
ada yang meyakinkan hati gue la, bahwa Tante Arya itu masih hidup,” ucap Lia
penuh keyakinan. Mala menjatuhkan kepalanya ke bahu Lia, lantas dia memeluk
sahabatnya yang sudah dia kenal sejak kecil.
Kondisi
Sifa masih belum ada perubahan sama sekali. Seolah kompak, keadaan ibu dan anak
terlihat hanya seperti seseorang yang sedang tertidur. Hanya bedanya, nadi Sifa
masih terdeteksi, bahkan hembusan napasnya masih terdengar ditambah dadanya
yang masih terlihat bergetar, tanda detak jantungnya masih berfungsi. Sedangkan
Arya diam membisu, tanpa ada tanda kehidupan.
“Kita
mesti gimana ya Bi, untuk menyadarkan Sifa?” tanya Umi Yani pada suaminya
ketika Abi Tarno dan Ustad Abas masuk ke kamar Sifa dan memeriksa keadaan Sifa.
Abi Tarno tersenyum.
“Kita
serahkan saja Mi, sama Allah. Umi bantu Abi dan Abas ya untuk ngerukiah lagi
Sifa,” kata Abi Tarno penuh wibawa pada istrinya.
“Tapi
Umi mau nemenin Bu Pur untuk mandiin jenazah,” jawab Umi. Abi Tarno
mengangguk-angguk.
“Sebentar
lagi dia datang, katanya sepuluh menit yang lalu Wa Umi dia sudah on the way,”
lanjut Umi.
“Nah
kalau gitu Umi di depan saja, biar yang di sini Abi sama Abas aja,” kata Abi
Tarno.
“Saya
juga di sini saja Abi sama Pak Erwin, ayahnya Mala,” kata Pak Setiawan yang
masuk ke dalam kamar bersama seorang pria, yaitu ayahnya Kemala.
“Dengan
senang hati Pak,” jawab Abi Tarno.
Tepat
jam tujuh pagi, prosesi memandikan jenazah Arya akan dimulai. Semua peralatan
telah disiapkan. Ada tujuh orang di sana, yaitu Bu Pur sebagai pemandi jenazah
serta satu asistennya, Bu Ratmi, Bu Lila bunda dari Mala, juga Umi Yani, serta
Lia dan Mala yang telah siap di dalam bilik buatan untuk memandikan jenazah
Arya.
Perlahan
Bu Pur mulai menyiram sekujur tubuh Arya dengan terus melafalkan dzikir.
Pemandian berlangsung sunyi, tak ada suara hanya germicik air serta ucapan doa
dari Bu Pur yang memenuhi bilik berukuran 2x3 meter yang berada di halaman
rumah. Mala yang terus setia berada di sisi Lia juga diam membisu, hanya
tangannya yang menggenggam tangan Lia.
“Lia,
kamu mau mandikan Bu Arya?” tanya Umi Yani menatap Lia yang hanya diam mematung
di dekat kepala jenazah Arya.
“Enggak
Umi,” singkat Lia menjawab tanpa menolehkan sedikitpun tatapannya dari wajah
Arya yang tampak tenang sekali.
“Kak,
bantu bersihkan jenazah Tante sedikit saja sebagai tanda sayang kamu,” kata Bu
Ratmi memberi perintah pada anak sulungnya. Lia menggeleng.
“Lia
tidak mau Ma, soalnya Lia yakin Tante masih hidup,” jawab Lia sedikit membisik.
Jawaban Lia membuat Bu Ratmi menarik napas kesal, lantas ibu tiga anak ini
menoleh ke Mala.
“Ajak
Lia keluar aja la,” sekali lagi Bu Ratmi berkata namun kini menyuruh Mala
membawa Lia keluar. Dengan sangat terpaksa kedua gadis ini pun keluar dari
bilik pemandian jenazah.
Setengah
jam kemudian, prosesi pemandian selesai. Kini tahap selanjutnya adalah
memakaikan jenazah Arya dengan kain kafan.
Sementara
di kamar Sifa, Abi Tarno, Ustad Abas, Pak Setiawan, dan Pak Erno tengah khusyu
berdzikir mencoba merukiah Sifa. Entah kekuatan dari mana, tiba-tiba mata Sifa
berkerjap-kerjap. Gadis ini perlahan membuka matanya, pandangannya menyapu
seluruh ruangan.
“Ada
apa Pakde?” tanya Sifa dalam raut muka keingintahuan.
“Sifa,
sudah bangun sayang,” jawab Pak Setiawan.
“Mereka
siapa Pakde?” kembali Sifa bertanya, menatap Abi Tarno dan Ustad Abas satu
persatu.
“Kok
ada Om Erno di sini, ngapain Om?” tanya Sifa kembali sambil berusaha duduk.
“Ini
Abi Tarno, suaminya Umi Yani, dan ini adiknya Abi Tarno namanya Pak Abas,”
jelas Pak Setiawan sambil membantu Sifa untuk duduk.
“Mama
kemana Pakde?” Sifa bertanya sambil menatap ke luar kamar.
“Mama
kerja ya Pakde? Trus Papa juga kerja ya Pakde?” Sifa terus bertanya. Kesemua
orang dalam kamar diam, mereka bingung akan menjelaskan apa ke Sifa tentang
kejadian sebenarnya.
“Pakde,
Sifa lapar,” ucap Sifa kembali sambil beranjak berdiri, lantas melangkah keluar
kamar. Sifa tampak biasa saja, seakan tak pernah terjadi masalah apapun pada
dirinya, namun tetap cincin itu melingkar di jari tengah tangan kirinya.
“Sifa
di sini saja, biar Pakde ambilin makanan buat Sifa,” kata Pak Setiawan berusaha
menahan langkah Sifa.
“Sifa
enggak mau Pakde, Sifa mau makan di meja makan aja,” katanya sambil berjalan.
Kini Sifa telah berjalan menuju anak tangga. Keempat laki-laki hanya bisa
mengikutinya dari belakang tanpa bisa menahan langkah Sifa.
“Itu
siapa yang meninggal?” ucap Sifa terbata saat matanya melihat jasad Arya sedang
dikafani. Sontak semua mata menoleh ke Sifa, termasuk Lia dan Mala yang duduk
di sudut ruangan.
“Sifa,”
ucap dua sahabat ini kompak.
“Siapa
yang meninggal Pakde?” tanya Sifa kembali sambil menoleh ke Pak Setiawan yang
berdiri di sampingnya. Pak Setiawan tak kuasa menjawab, dia hanya meraih bahu
Sifa. Sifa kembali menyapu ruangan dengan tatapannya menyelidik. Ketika dia
menatap Bu Ratmi kembali, dia bertanya.
“Bude,
itu siapa yang dikafani?” tanyanya sedikit emosi, itu terdengar dari nada
suaranya yang sangat tegas. Bu Ratmi berdiri dan menghampiri Sifa, namun Lia
lebih dulu berdiri dan menghampiri Sifa. Melihat Lia mendekat, Sifa kembali
bertanya.
“Kak
Lia, siapa yang meninggal?” Sifa menatap melotot ke Lia yang menjawab dengan
tersenyum.
“Tenang
Sifa, kamu baik-baik saja kan?” Lia mencoba memberi gurauan.
“Kak
Lia, siapa yang meninggal?” sekali lagi Sifa bertanya penuh ketegasan.
Bu
Ratmi segera memeluk Sifa dengan kasih sayang, namun Sifa hanya sejenak
menikmati kehangatan pelukan itu, lantas dia segera melepaskan dirinya dari
pelukan Bu Ratmi.
“Bude,
siapa yang meninggal?” tanya Sifa lirih menatap Bu Ratmi memohon penjelasan. Bu
Ratmi tak kuasa menjawab, dia juga terdiam.
Mendapatkan
jawaban yang tak jelas, segera Sifa berjalan menuju jasad Arya yang akan
dikafani. Proses mengafani terhenti ketika Sifa datang. Bu Pur tertegun
menghentikan gerakannya untuk mengafani jasad Arya yang baru setengah
terbungkus. Semua orang tertegun menatap Sifa, dari pelupuk mata mereka
menyirat kesedihan yang tak ingin diperlihatkan.
“Ma,
Ma,” pekik Sifa tertahan ketika gadis ini telah berada di dekat jasad Arya.
Bu
Ratmi segera merangkul bahu Sifa dan membawanya ke dalam pelukanya. Sifa
meraung, tangisannya pecah. Dia terduduk menangis sejadinya, meratapi jasad
Arya. Tapi Bu Ratmi segera menarik tubuh Sifa yang ingin memeluk jasad mamanya.
“Cantik,
Mama sudah dimandikan jadi Sifa tak boleh menangis di jasad Mama,” Bu Ratmi
memeluk Sifa dan membelainya. Dalam raungan tangisan, Sifa ingin memberontak,
namun usapan lembut tangan Bu Ratmi laksana magic yang melunakan kesedihan
Sifa.
“Kenapa
Mama meninggal Bude, apa Mama sakit atau Mama kecelakaan?” meski
tersendat-sendat Sifa bertanya, tangisannya masih terus terdengar.
“Itu
semua kuasa ALLAH, sayang. Sekarang Sifa bantu Mama biar tenang ya menghadap
ALLAH,” ucap Bu Ratmi lembut, namun air matanya tak mampu dia tahan. Lia yang
sedari tadi juga berada di dekat Sifa hanya bisa menggigit bibir sambil
tangannya mengusap punggung Sifa, sementara Mala sudah sejak tadi terlihat
mengusap air matanya, begitu juga Umi Yani dan Bu Lila, bundanya Mala.
Ya,
siapa yang tak terenyuh dengan kondisi seperti ini, takala menyaksikan Sifa
yang teramat terpukul kehilangan mamanya. Tapi semua mesti dijalani, walaupun
air mata yang mengiringi prosesi pengurusan jenazah Arya.
Kini
jenazah sudah berada di serambi masjid dan akan segera disholatkan. Sifa yang
masih terus menangis kini dalam pelukan Lia dan Mala yang berada di kedua sisi
Sifa.
“Kak
Lia, kenapa Mama meninggal?” tanya Sifa dalam isakan. Lia tersenyum.
“Ini
sudah takdir Sifa,” jawab Lia singkat, karena dia sendiri bingung akan memberi
jawaban apa.
“Seingat
Sifa, Mama tidak sakit Kak Lia,” kembali Sifa berkata, yang membuat Lia hanya
mampu mengigit bibirnya. Sementara Mala lebih mempererat pegangan lengannya ke
Sifa. Sifa menoleh ke Mala, menatapnya penuh harap.
“Kak
Mala pasti tahu kenapa Mama menginggal,” ucap Sifa sambil terus menatap Mala
yang justru tertunduk. Tersirat banyak pertanyaan di hati Mala, namun dia hanya
bisa bergumam dalam hati.
“Gimana
nih ngejelasin ke Sifa sedangkan aneh kenapa kondisi Sifa baik-baik saja, trus
kenapa cincin itu tak bereaksi?” sambil tertunduk, mata Mala mencari keberadaan
cincin bermata tiga. Dan pas tatapan matanya menemukan cincin itu, dia bergumam
sendiri.
“Aneh,
kenapa cincin itu tak menyala lagi, malah sekarang kaya cincin biasa aja,” lanjutnya,
lantas dia mengangkat wajahnya menatap Sifa yang tengah memperhatikan ke depan.
“Apapun
penyebabnya, Sifa mesti ikhlasin Mama dan bantu Mama dengan doa. Kan doa anak
sholeha adalah harta yang Mama miliki di kubur,” kata Umi Yani memberikan penjelasan
agar Sifa merasa tenang. Wanita yang berdiri di samping Lia menatap Sifa penuh
kasih sayang. Sifa menoleh sejenak ke Umi Yani, lantas menatap kembali keranda
yang telah dibawa masuk ke dalam masjid.
“Tunggu,
Bu Arya masih hidup!” tiba-tiba terdengar sebuah suara dari arah kiri saat
jenazah Arya ingin dimasukkan ke dalam mobil jenazah. Jenazah telah selesai
disholatkan, kini babak terakhir adalah menguburkan jenazah itu.
Sontak
semua orang menoleh ke arah empunya suara, yang ternyata itu adalah suara Pak
Otong.
“Pak
Otong,” kompak Pak Setiawan dan Pak Anto bergumam, karena mereka berdua masih
berada di depan pintu mobil jenazah.
Pak
Otong melangkah santai mendekati mobil jenazah.
“Mana
gadis itu?” tanya Pak Otong, yang matanya menyapu seluruh orang yang ada di
sekitar tempat itu.
“Maaf
Pak, dengan tidak mengurangi rasa hormat keluarga kami, sebaiknya Bapak tidak
menghalangi kepergian jenazah adik saya,” Pak Setiawan yang memberikan
pengertian ke Pak Otong yang masih mencari keberadaan seseorang.
“Mana
gadis itu?” tanyanya tegas tanpa mempedulikan ucapan Pak Setiawan. Matanya
terus mencari seseorang yang dia maksud.
“Nah
itu dia,” lanjutnya senang, karena ekor matanya telah menemukan seseorang yang
dia cari, lantas Pak Otong melangkah mendekati mobil Suzuki Sigra abu-abu yang
berada tak jauh dari mobil jenazah. Lia yang terkejut dengan kedatangan Pak
Otong telah membuka kaca mobil, lantas dia memperhatikan gerak-gerik Pak Otong,
terlebih lagi ketika Pak Otong menghampirinya.
“Kamu
harus menyadarkan Bu Arya dengan gelang manik-manik kamu yang kemarin,” Pak
Otong berkata pada Lia yang tertegun tak percaya dengan apa yang dilihatnya.
“Dukun
itu lagi,” ucap Mala berbisik ke telinga Lia, karena Mala duduk di samping Lia.
“Ayo
turun, kita selamatkan Bu Arya dari pengaruh cincin itu,” ajak Pak Otong pada
Lia sambil dia membuka pintu mobil.
“Apa
maksudnya?” Lia mengernyitkan dahi membalas tatapan Pak Otong yang menatapnya
lekat.
“Hanya
kamu yang bisa menyelamatkan keluarga kamu sendiri. Gunakan kekuatan batinmu
untuk menyelamatkan Bu Arya,” kata Pak Otong yang terus menatap Lia yang tak
mau turun dari dalam mobil, padahal pintu mobil itu telah terbuka.
“Enggak
ada salahnya Li, kita coba, kan kata lo Tante Arya masih hidup,” kata Mala
membisik memberi semangat ke Lia. Lia menarik napas panjang.
“Kamu
pasti bisa, gunakan ilmu batinmu,” Pak Otong berkata lagi, namun ucapannya
sedikit lembut.
“Ayo
sebelum terlambat, selamatkan Bu Arya,” lanjut Pak Otong penuh harap dari
tatapan matanya. Dia meminta Lia turun. Lia menoleh ke Mala meminta pendapat.
Mala tersenyum menandakan persetujuan agar Lia menuruti keinginan Pak Otong,
meski dalam hatinya lagi-lagi Mala hanya dapat bergumam.
“Aneh,
kenapa dukun itu tahu ya kalau Tante Arya sudah meninggal, dan kenapa juga dia
yakin seperti Lia kalau Tante Arya masih hidup?” Mala menarik napas dan
mendesahnya sambil menggeleng.
“Letakkan
Tante lagi di masjid Pa,” pinta Lia pada Pak Setiawan ketika Lia sudah berada
di depan pintu mobil jenazah yang sudah tertutup. Pak Setiawan menatap Lia
penuh arti, namun Lia mengerti apa maksud tatapan mata papanya.
“Iya
Pa, Lia mohon,” Lia membalas tatapan itu dengan penuh harapan.
“Lia,
coba berpikir dengan logikamu, jangan andalkan nafsumu. Tante Arya telah
kembali pada yang menciptakanya,” Pak Setiawan tegas memberikan jawabanya.
“Iya
Lia, Om minta tolong mudahkan jalan Tante Arya,” timpal Pak Anto.
“Om
sudah ikhlas Lia,” lanjutnya tertunduk.
“Lia
tahu Om, Lia ngerti Pa, tapi Lia mohon ijinkan Lia membuktikan bahwa Tante
masih hidup,” ucap Lia terbata menahan gejolak hatinya yang masih penasaran
tentang keadaan tantenya.
“Tidak
Lia, itu akan menambah masalah dan kesedihan kita semua. Sekarang kita lakukan
secepatnya penguburan jenazah Tante agar masalah ini cepat selesai,” Pak
Setiawan tegas memutuskan, namun Lia tak patah arang. Dia tetap memohon.
“Ijinkan
Lia mencoba sebentar saja Pa, biar rasa penasaran Lia tak menjadi beban
selamanya,” ucap Lia dalam isakan.
“Tidak
Lia,” jawab Pak Anto juga terbata.
Lia
hanya dapat diam terisak dalam rangkulan Mala, dan Mala mencoba menenangkan
sahabatnya meski hatinya diselimuti pertanyaan yang tak masuk akalnya dengan
kejadian yang terus menerus terjadi. Ya, mereka tetap membawa jenazah Arya
menuju ke tempat peristirahatan terakhirnya. Mobil jenazah serta iring-iringan
keluarga tiba di halaman parkir pemakaman, tiba-tiba hujan turun amat lebatnya,
padahal sudah dua hari belakangan cuaca sangat panas. Bahkan selama perjalanan
dari masjid menuju ke pemakaman, mentari bersinar sangat terik. Karena hujan,
terpaksa prosesi penguburan tertunda. Semua orang diam dalam kendaraan
masing-masing, sedangkan yang naik sepeda motor berusaha menepi mencari tempat
berteduh.
“Allahuma
shohiban nafian,” ucap Lia lirih menatap air yang turun dengan derasnya dari
dalam mobil. Lia yang tersadar pada tasbihnya ketika diingatkan Pak Otong,
sudah menggenggam dan berdzikir selama perjalanan menuju ke pemakaman.
“Ya
ALLAH, kuasa MU sangatlah agung, dalam hujan yang KAU turunkan sertakan pula
rahmat Mu untuk seluruh keluargaku. Berilah petunjuk agar permasalahan ini bisa
kami selesaikan atas ijin Mu ya ALLAH,” Lia terus bermunajat dalam hatinya
sambil terus memainkan tasbihnya, sedangkan Sifa yang duduk diantara Lia dan
Mala masih terisak. Mala selalu memberikan perhatian ke Sifa dengan sesekali
menepuk-nepuk paha Sifa.
“Kak
Mala, tadi siapa yang ngomong sama Kak Lia?” tanya Sifa memecah kebisuan. Mala
menoleh ke Sifa dan tatapan keduanya beradu. Mala tersenyum.
“Namanya
Pak Otong, tapi Kak Mala enggak tahu siapa dia,” jawab Mala.
“Terus
kenapa dia bilang Mama masih hidup dan Cuma Kak Lia yang bisa ngebantunya?”
kembali Sifa bertanya, masih menatap Mala dengan tatapan berharap Mala mau
menjawabnya. Mala meraih bahu Sifa dan merangkulnya.
“Kak,
Sifa bingung dengan kejadian ini,” ucap Sifa terisak dalam rangkulan Mala. Mala
hanya bisa menahan air matanya yang sudah siap meluncur, namun dia berusaha
tegar dengan mencium kepala Sifa.
“Sabar
ya Sifa, Kakak juga bingung sama seperti kamu,” lirih Mala berkata, dan Lia
yang menyimak kejadian ini menoleh ke arah keduanya dengan tatapan haru.
Lima
belas menit kemudian, hujan berhenti dengan seketika. Fenomena alam ini sungguh
menakjubkan. Bayangkan, dari suasana panas yang terik, tiba-tiba hujan
mengguyur dengan lebatnya, lantas seolah langit telah menumpahkan semua
rasanya, hujan itu berhenti tak berbekas. Aroma sisa hujan tak tercium, hanya
genangan air serta jalan yang basah bekas terguyur air hujan.
Proses
pemakaman segera dilakukan. Pak Setiawan dan Pak Anto yang mengusung keranda
jenazah dari depan, sedangkan Ustad Abas dan Abi Tarno yang mengusung dari
belakang. Iringan keluarga menyertai di belakangnya.
Tepat
di depan liang kubur, keranda jenazah diturunkan. Di bawah sudah ada satu orang
yang menanti, sehingga Pak Setiawan dan Pak Anto ikut turun untuk menerima
jenazah.
Selagi
keranda hendak dibuka, Lia melangkah mendekati keranda itu dan langsung
tangannya membuka penutup keranda.
“Bismillahirrohmanirrohim,”
ucap Lia sambil memutarkan tasbihnya ke seluruh tubuh Arya. Bu Ratmi yang menyaksikan
gerakan Lia segera menarik putrinya, namun Lia menepis.
“Coba
terus, jangan putus asa, yakinkan dirimu pada kekuatan yang kamu miliki,” suara
Pak Otong terdengar dari depan liang. Semua tatapan menatapnya tak suka, seakan
menyuruhnya pergi, namun Pak Otong diam mematung, hanya tatapannya saja yang
terfokus pada jenazah Arya. Mala yang juga terkejut dengan keberadaan Pak Otong
hanya bisa bergumam lagi dalam hatinya.
“Dukun
itu lagi, gimana caranya dia bisa ada di sini dan kenapa sih dia masih peduli
sama Tante Arya dan apa maksudnya dia?” Mala menggeleng mengusap wajahnya
dengan sebelah telapak tangannya. “Ya Allah, bila kehendak Mu telah bekerja
maka singkirkan semua kejahatan itu,” ucap Lia. Sekali lagi dia mengulurkan
tasbihnya dan mengitari tubuh Arya dari atas hingga kaki.
“ALLAHUAKBAR
WALILLAH ILHAM,” seru Lia menahan napasnya. Semua orang tertegun, hening
sejenak penuh tanda tanya dari semua tatapan yang menanti apa yang akan terjadi
selanjutnya. Namun tetap tak ada reaksi apapun, hingga Pak Haji Minan sebagai
ketua masjid yang diminta untuk memimpin proses pengurusan jenazah melerai
suasana.
“Maaf
Mba Lia, tolong berpikir bijaksana, jangan mempersulit keadaan. Justru kita
harus membantu almarhumah agar mudah jalannya,” kata Pak Haji Minan penuh
wibawa. Lia hanya diam, namun batinya membrontak sebab dia teramat yakin bahwa
Tante Arya masih hidup. Bu Ratmi segera memapah Lia menjauh beberapa langkah.
Sesaat kemudian, Pak Haji Minan meneruskan perintahnya yang ada
disekelilingnya.
“Sekarang
kita turunkan jenazah Bu Arya,” pria paruh baya ini memerintahkan agar ketiga
orang di bawah siap menerima jenazah.
“Siap
kan yang di bawah?” katanya lagi, lantas dia menoleh ke tiga orang yang akan
memberi jenazah dari atas. Semua orang berseru “Siap Pak Haji”.
Mulailah
Abi Tarno, Ustad Abas, dan Pak Erno menurunkan jenazah, yang dari bawah telah
siap menerima, yaitu Pak Setiawan, Pak Anto, dan seorang penjaga makam. Jenazah
pun telah diterima dan akan dibaringkan. Cekatan Pak Setiawan membuka tali
pocong serta membuka penutup wajah sang jenazah. Namun betapa terkejutnya Pak
Setiawan ketika hendak menghadapkan muka jenazah ke arah kiblat, karena
terlihat mata jenazah berkerjap-kerjap, bahkan sesaat kemudian mata bulat Arya
memancarkan sinar kehidupan disertai senyumnya dan sebuah ucapan.
“Dimana
aku?”
Sontak
Pak Setiawan diam mematung, serta Pak Anto yang nyaris pingsan, juga sang
penjaga makam yang melongo tak percaya. Sementara semua orang di atas membisu
menyaksikan jenazah itu berbicara, dan kini Arya benar-benar hidup kembali.
Setelah bu Arya hidup lagi, cincin lakcnat di jari sifa bisa lepas juga dgn segala macam cara dan bantuan dzikir dari semua orang, trus karna si dukun ga jdi dpet tumbal ilmu hitamnya berbalik lg ke yg ngirim alias si Ririn terkutuk itu dia dan suami kecelakaan dan modar dah☺
085182771944
Setelah Arya hidup kembali, ilmu hitam dari cincin berbalik menyerang Ririn dan Taufik, kalau perlu Ririn dan Taufik tersiksa dulu agar menderita akibat perbuatannya sebelum ajal menjemput, tak lupa dukun hitamnya juga terkena imbasnya karena tidak bisa memberikan tumbal kepada mahluk yang dia puja, diakhir pak otong bertaubat karena melihat langsung kuasa ALLAH SWT, terimakasih banyak
082315045571
Setelah Arya hidup kembali, Pak Otong menjadi taubat karena menyaksikan kuasa Allah di depan mata. Tetapi, ilmu hitam dari cincin berbalik pada si pengirim, membuat mereka merASA DITEROR. hal itu membuat Sifa dapat melepas cincinnya setelah terdengar si pengirim mati tersiksa dalam penyesalan. Hal ini membuat keluarga Sifa menyadari, bahwa hukum tabur tuai itu ada.