Cincin bermata tiga bagian 15

Daftar Isi

Selekas salat Subuh, dimulailah mengurus jenazah Arya. Semua persiapan telah rapi sesuai rencana. Jenazah Arya akan dimandikan oleh pemandi jenazah yang biasa mengerjakannya, dan dia juga adalah teman Umi Yani. Setelah dimandikan, rencananya jenazah Arya akan disholatkan di masjid yang letaknya masih dalam kawasan kompleks perumahan. Pemakaman akan dilakukan jam sepuluh pagi di pemakaman umum yang letaknya tak jauh dari kompleks perumahan Griya Indah, tempat keluarga Pak Anto tinggal.

 

“Li, lo mau ikut mandiin jenazah Tante Arya enggak?” tanya Mala pada Lia ketika mereka telah selesai salat Subuh dan duduk di hadapan jenazah Arya. Lia mendesah, menggeleng.

 

“Kenapa Li?” kembali Mala bertanya dengan tatapan bingung.

 

“Kan udah gue bilang, firasat  gue memberikan sinyal, bahwa Tante Arya itu masih hidup,” ucap Lia lirih sambil menatap lurus ke depan, menatap jenazah Arya yang masih dibiarkan terbuka layaknya seseorang sedang tidur pulas.

 

“Li, gue ngerti perasaan lo, tapi kan kemarin dokter sudah menyatakan Tante Arya itu sudah meninggal, jadinya lo mesti ikhlas,” kata Mala mencoba menghibur sahabatnya dengan merangkul bahu Lia. Lia menoleh menatap Mala tak suka, dan Mala membalasnya dengan tersenyum.

 

“La, itu bukan perasaan gue semata yang sedih tuk kehilangan seorang tante, tapi ini ada yang meyakinkan hati gue la, bahwa Tante Arya itu masih hidup,” ucap Lia penuh keyakinan. Mala menjatuhkan kepalanya ke bahu Lia, lantas dia memeluk sahabatnya yang sudah dia kenal sejak kecil.

 

Kondisi Sifa masih belum ada perubahan sama sekali. Seolah kompak, keadaan ibu dan anak terlihat hanya seperti seseorang yang sedang tertidur. Hanya bedanya, nadi Sifa masih terdeteksi, bahkan hembusan napasnya masih terdengar ditambah dadanya yang masih terlihat bergetar, tanda detak jantungnya masih berfungsi. Sedangkan Arya diam membisu, tanpa ada tanda kehidupan.

 

“Kita mesti gimana ya Bi, untuk menyadarkan Sifa?” tanya Umi Yani pada suaminya ketika Abi Tarno dan Ustad Abas masuk ke kamar Sifa dan memeriksa keadaan Sifa. Abi Tarno tersenyum.

 

“Kita serahkan saja Mi, sama Allah. Umi bantu Abi dan Abas ya untuk ngerukiah lagi Sifa,” kata Abi Tarno penuh wibawa pada istrinya.

 

“Tapi Umi mau nemenin Bu Pur untuk mandiin jenazah,” jawab Umi. Abi Tarno mengangguk-angguk.

 

“Sebentar lagi dia datang, katanya sepuluh menit yang lalu Wa Umi dia sudah on the way,” lanjut Umi.

 

“Nah kalau gitu Umi di depan saja, biar yang di sini Abi sama Abas aja,” kata Abi Tarno.

 

“Saya juga di sini saja Abi sama Pak Erwin, ayahnya Mala,” kata Pak Setiawan yang masuk ke dalam kamar bersama seorang pria, yaitu ayahnya Kemala.

 

“Dengan senang hati Pak,” jawab Abi Tarno.

 

Tepat jam tujuh pagi, prosesi memandikan jenazah Arya akan dimulai. Semua peralatan telah disiapkan. Ada tujuh orang di sana, yaitu Bu Pur sebagai pemandi jenazah serta satu asistennya, Bu Ratmi, Bu Lila bunda dari Mala, juga Umi Yani, serta Lia dan Mala yang telah siap di dalam bilik buatan untuk memandikan jenazah Arya.

 

Perlahan Bu Pur mulai menyiram sekujur tubuh Arya dengan terus melafalkan dzikir. Pemandian berlangsung sunyi, tak ada suara hanya germicik air serta ucapan doa dari Bu Pur yang memenuhi bilik berukuran 2x3 meter yang berada di halaman rumah. Mala yang terus setia berada di sisi Lia juga diam membisu, hanya tangannya yang menggenggam tangan Lia.

 

“Lia, kamu mau mandikan Bu Arya?” tanya Umi Yani menatap Lia yang hanya diam mematung di dekat kepala jenazah Arya.

 

“Enggak Umi,” singkat Lia menjawab tanpa menolehkan sedikitpun tatapannya dari wajah Arya yang tampak tenang sekali.

 

“Kak, bantu bersihkan jenazah Tante sedikit saja sebagai tanda sayang kamu,” kata Bu Ratmi memberi perintah pada anak sulungnya. Lia menggeleng.

 

“Lia tidak mau Ma, soalnya Lia yakin Tante masih hidup,” jawab Lia sedikit membisik. Jawaban Lia membuat Bu Ratmi menarik napas kesal, lantas ibu tiga anak ini menoleh ke Mala.

 

“Ajak Lia keluar aja la,” sekali lagi Bu Ratmi berkata namun kini menyuruh Mala membawa Lia keluar. Dengan sangat terpaksa kedua gadis ini pun keluar dari bilik pemandian jenazah.

 

Setengah jam kemudian, prosesi pemandian selesai. Kini tahap selanjutnya adalah memakaikan jenazah Arya dengan kain kafan.

 

Sementara di kamar Sifa, Abi Tarno, Ustad Abas, Pak Setiawan, dan Pak Erno tengah khusyu berdzikir mencoba merukiah Sifa. Entah kekuatan dari mana, tiba-tiba mata Sifa berkerjap-kerjap. Gadis ini perlahan membuka matanya, pandangannya menyapu seluruh ruangan.

 

“Ada apa Pakde?” tanya Sifa dalam raut muka keingintahuan.

 

“Sifa, sudah bangun sayang,” jawab Pak Setiawan.

 

“Mereka siapa Pakde?” kembali Sifa bertanya, menatap Abi Tarno dan Ustad Abas satu persatu.

 

“Kok ada Om Erno di sini, ngapain Om?” tanya Sifa kembali sambil berusaha duduk.

 

“Ini Abi Tarno, suaminya Umi Yani, dan ini adiknya Abi Tarno namanya Pak Abas,” jelas Pak Setiawan sambil membantu Sifa untuk duduk.

 

“Mama kemana Pakde?” Sifa bertanya sambil menatap ke luar kamar.

 

“Mama kerja ya Pakde? Trus Papa juga kerja ya Pakde?” Sifa terus bertanya. Kesemua orang dalam kamar diam, mereka bingung akan menjelaskan apa ke Sifa tentang kejadian sebenarnya.

 

“Pakde, Sifa lapar,” ucap Sifa kembali sambil beranjak berdiri, lantas melangkah keluar kamar. Sifa tampak biasa saja, seakan tak pernah terjadi masalah apapun pada dirinya, namun tetap cincin itu melingkar di jari tengah tangan kirinya.

 

“Sifa di sini saja, biar Pakde ambilin makanan buat Sifa,” kata Pak Setiawan berusaha menahan langkah Sifa.

 

“Sifa enggak mau Pakde, Sifa mau makan di meja makan aja,” katanya sambil berjalan. Kini Sifa telah berjalan menuju anak tangga. Keempat laki-laki hanya bisa mengikutinya dari belakang tanpa bisa menahan langkah Sifa.

 

“Itu siapa yang meninggal?” ucap Sifa terbata saat matanya melihat jasad Arya sedang dikafani. Sontak semua mata menoleh ke Sifa, termasuk Lia dan Mala yang duduk di sudut ruangan.

 

“Sifa,” ucap dua sahabat ini kompak.

 

“Siapa yang meninggal Pakde?” tanya Sifa kembali sambil menoleh ke Pak Setiawan yang berdiri di sampingnya. Pak Setiawan tak kuasa menjawab, dia hanya meraih bahu Sifa. Sifa kembali menyapu ruangan dengan tatapannya menyelidik. Ketika dia menatap Bu Ratmi kembali, dia bertanya.

 

“Bude, itu siapa yang dikafani?” tanyanya sedikit emosi, itu terdengar dari nada suaranya yang sangat tegas. Bu Ratmi berdiri dan menghampiri Sifa, namun Lia lebih dulu berdiri dan menghampiri Sifa. Melihat Lia mendekat, Sifa kembali bertanya.

 

“Kak Lia, siapa yang meninggal?” Sifa menatap melotot ke Lia yang menjawab dengan tersenyum.

 

“Tenang Sifa, kamu baik-baik saja kan?” Lia mencoba memberi gurauan.

 

“Kak Lia, siapa yang meninggal?” sekali lagi Sifa bertanya penuh ketegasan.

 

Bu Ratmi segera memeluk Sifa dengan kasih sayang, namun Sifa hanya sejenak menikmati kehangatan pelukan itu, lantas dia segera melepaskan dirinya dari pelukan Bu Ratmi.

 

“Bude, siapa yang meninggal?” tanya Sifa lirih menatap Bu Ratmi memohon penjelasan. Bu Ratmi tak kuasa menjawab, dia juga terdiam.

 

Mendapatkan jawaban yang tak jelas, segera Sifa berjalan menuju jasad Arya yang akan dikafani. Proses mengafani terhenti ketika Sifa datang. Bu Pur tertegun menghentikan gerakannya untuk mengafani jasad Arya yang baru setengah terbungkus. Semua orang tertegun menatap Sifa, dari pelupuk mata mereka menyirat kesedihan yang tak ingin diperlihatkan.

 

“Ma, Ma,” pekik Sifa tertahan ketika gadis ini telah berada di dekat jasad Arya.

 

Bu Ratmi segera merangkul bahu Sifa dan membawanya ke dalam pelukanya. Sifa meraung, tangisannya pecah. Dia terduduk menangis sejadinya, meratapi jasad Arya. Tapi Bu Ratmi segera menarik tubuh Sifa yang ingin memeluk jasad mamanya.

 

“Cantik, Mama sudah dimandikan jadi Sifa tak boleh menangis di jasad Mama,” Bu Ratmi memeluk Sifa dan membelainya. Dalam raungan tangisan, Sifa ingin memberontak, namun usapan lembut tangan Bu Ratmi laksana magic yang melunakan kesedihan Sifa.

 

“Kenapa Mama meninggal Bude, apa Mama sakit atau Mama kecelakaan?” meski tersendat-sendat Sifa bertanya, tangisannya masih terus terdengar.

 

“Itu semua kuasa ALLAH, sayang. Sekarang Sifa bantu Mama biar tenang ya menghadap ALLAH,” ucap Bu Ratmi lembut, namun air matanya tak mampu dia tahan. Lia yang sedari tadi juga berada di dekat Sifa hanya bisa menggigit bibir sambil tangannya mengusap punggung Sifa, sementara Mala sudah sejak tadi terlihat mengusap air matanya, begitu juga Umi Yani dan Bu Lila, bundanya Mala.

 

Ya, siapa yang tak terenyuh dengan kondisi seperti ini, takala menyaksikan Sifa yang teramat terpukul kehilangan mamanya. Tapi semua mesti dijalani, walaupun air mata yang mengiringi prosesi pengurusan jenazah Arya.

 

Kini jenazah sudah berada di serambi masjid dan akan segera disholatkan. Sifa yang masih terus menangis kini dalam pelukan Lia dan Mala yang berada di kedua sisi Sifa.

 

“Kak Lia, kenapa Mama meninggal?” tanya Sifa dalam isakan. Lia tersenyum.

 

“Ini sudah takdir Sifa,” jawab Lia singkat, karena dia sendiri bingung akan memberi jawaban apa.

 

“Seingat Sifa, Mama tidak sakit Kak Lia,” kembali Sifa berkata, yang membuat Lia hanya mampu mengigit bibirnya. Sementara Mala lebih mempererat pegangan lengannya ke Sifa. Sifa menoleh ke Mala, menatapnya penuh harap.

 

“Kak Mala pasti tahu kenapa Mama menginggal,” ucap Sifa sambil terus menatap Mala yang justru tertunduk. Tersirat banyak pertanyaan di hati Mala, namun dia hanya bisa bergumam dalam hati.

 

“Gimana nih ngejelasin ke Sifa sedangkan aneh kenapa kondisi Sifa baik-baik saja, trus kenapa cincin itu tak bereaksi?” sambil tertunduk, mata Mala mencari keberadaan cincin bermata tiga. Dan pas tatapan matanya menemukan cincin itu, dia bergumam sendiri.

 

“Aneh, kenapa cincin itu tak menyala lagi, malah sekarang kaya cincin biasa aja,” lanjutnya, lantas dia mengangkat wajahnya menatap Sifa yang tengah memperhatikan ke depan.

 

“Apapun penyebabnya, Sifa mesti ikhlasin Mama dan bantu Mama dengan doa. Kan doa anak sholeha adalah harta yang Mama miliki di kubur,” kata Umi Yani memberikan penjelasan agar Sifa merasa tenang. Wanita yang berdiri di samping Lia menatap Sifa penuh kasih sayang. Sifa menoleh sejenak ke Umi Yani, lantas menatap kembali keranda yang telah dibawa masuk ke dalam masjid.

 

“Tunggu, Bu Arya masih hidup!” tiba-tiba terdengar sebuah suara dari arah kiri saat jenazah Arya ingin dimasukkan ke dalam mobil jenazah. Jenazah telah selesai disholatkan, kini babak terakhir adalah menguburkan jenazah itu.

 

Sontak semua orang menoleh ke arah empunya suara, yang ternyata itu adalah suara Pak Otong.

 

“Pak Otong,” kompak Pak Setiawan dan Pak Anto bergumam, karena mereka berdua masih berada di depan pintu mobil jenazah.

 

Pak Otong melangkah santai mendekati mobil jenazah.

 

“Mana gadis itu?” tanya Pak Otong, yang matanya menyapu seluruh orang yang ada di sekitar tempat itu.

 

“Maaf Pak, dengan tidak mengurangi rasa hormat keluarga kami, sebaiknya Bapak tidak menghalangi kepergian jenazah adik saya,” Pak Setiawan yang memberikan pengertian ke Pak Otong yang masih mencari keberadaan seseorang.

 

“Mana gadis itu?” tanyanya tegas tanpa mempedulikan ucapan Pak Setiawan. Matanya terus mencari seseorang yang dia maksud.

 

“Nah itu dia,” lanjutnya senang, karena ekor matanya telah menemukan seseorang yang dia cari, lantas Pak Otong melangkah mendekati mobil Suzuki Sigra abu-abu yang berada tak jauh dari mobil jenazah. Lia yang terkejut dengan kedatangan Pak Otong telah membuka kaca mobil, lantas dia memperhatikan gerak-gerik Pak Otong, terlebih lagi ketika Pak Otong menghampirinya.

 

“Kamu harus menyadarkan Bu Arya dengan gelang manik-manik kamu yang kemarin,” Pak Otong berkata pada Lia yang tertegun tak percaya dengan apa yang dilihatnya.

 

“Dukun itu lagi,” ucap Mala berbisik ke telinga Lia, karena Mala duduk di samping Lia.

 

“Ayo turun, kita selamatkan Bu Arya dari pengaruh cincin itu,” ajak Pak Otong pada Lia sambil dia membuka pintu mobil.

 

“Apa maksudnya?” Lia mengernyitkan dahi membalas tatapan Pak Otong yang menatapnya lekat.

 

“Hanya kamu yang bisa menyelamatkan keluarga kamu sendiri. Gunakan kekuatan batinmu untuk menyelamatkan Bu Arya,” kata Pak Otong yang terus menatap Lia yang tak mau turun dari dalam mobil, padahal pintu mobil itu telah terbuka.

 

“Enggak ada salahnya Li, kita coba, kan kata lo Tante Arya masih hidup,” kata Mala membisik memberi semangat ke Lia. Lia menarik napas panjang.

 

“Kamu pasti bisa, gunakan ilmu batinmu,” Pak Otong berkata lagi, namun ucapannya sedikit lembut.

 

“Ayo sebelum terlambat, selamatkan Bu Arya,” lanjut Pak Otong penuh harap dari tatapan matanya. Dia meminta Lia turun. Lia menoleh ke Mala meminta pendapat. Mala tersenyum menandakan persetujuan agar Lia menuruti keinginan Pak Otong, meski dalam hatinya lagi-lagi Mala hanya dapat bergumam.

 

“Aneh, kenapa dukun itu tahu ya kalau Tante Arya sudah meninggal, dan kenapa juga dia yakin seperti Lia kalau Tante Arya masih hidup?” Mala menarik napas dan mendesahnya sambil menggeleng.

 

“Letakkan Tante lagi di masjid Pa,” pinta Lia pada Pak Setiawan ketika Lia sudah berada di depan pintu mobil jenazah yang sudah tertutup. Pak Setiawan menatap Lia penuh arti, namun Lia mengerti apa maksud tatapan mata papanya.

 

“Iya Pa, Lia mohon,” Lia membalas tatapan itu dengan penuh harapan.

 

“Lia, coba berpikir dengan logikamu, jangan andalkan nafsumu. Tante Arya telah kembali pada yang menciptakanya,” Pak Setiawan tegas memberikan jawabanya.

 

“Iya Lia, Om minta tolong mudahkan jalan Tante Arya,” timpal Pak Anto.

 

“Om sudah ikhlas Lia,” lanjutnya tertunduk.

 

“Lia tahu Om, Lia ngerti Pa, tapi Lia mohon ijinkan Lia membuktikan bahwa Tante masih hidup,” ucap Lia terbata menahan gejolak hatinya yang masih penasaran tentang keadaan tantenya.

 

“Tidak Lia, itu akan menambah masalah dan kesedihan kita semua. Sekarang kita lakukan secepatnya penguburan jenazah Tante agar masalah ini cepat selesai,” Pak Setiawan tegas memutuskan, namun Lia tak patah arang. Dia tetap memohon.

 

“Ijinkan Lia mencoba sebentar saja Pa, biar rasa penasaran Lia tak menjadi beban selamanya,” ucap Lia dalam isakan.

 

“Tidak Lia,” jawab Pak Anto juga terbata.

 

Lia hanya dapat diam terisak dalam rangkulan Mala, dan Mala mencoba menenangkan sahabatnya meski hatinya diselimuti pertanyaan yang tak masuk akalnya dengan kejadian yang terus menerus terjadi. Ya, mereka tetap membawa jenazah Arya menuju ke tempat peristirahatan terakhirnya. Mobil jenazah serta iring-iringan keluarga tiba di halaman parkir pemakaman, tiba-tiba hujan turun amat lebatnya, padahal sudah dua hari belakangan cuaca sangat panas. Bahkan selama perjalanan dari masjid menuju ke pemakaman, mentari bersinar sangat terik. Karena hujan, terpaksa prosesi penguburan tertunda. Semua orang diam dalam kendaraan masing-masing, sedangkan yang naik sepeda motor berusaha menepi mencari tempat berteduh.

 

“Allahuma shohiban nafian,” ucap Lia lirih menatap air yang turun dengan derasnya dari dalam mobil. Lia yang tersadar pada tasbihnya ketika diingatkan Pak Otong, sudah menggenggam dan berdzikir selama perjalanan menuju ke pemakaman.

 

“Ya ALLAH, kuasa MU sangatlah agung, dalam hujan yang KAU turunkan sertakan pula rahmat Mu untuk seluruh keluargaku. Berilah petunjuk agar permasalahan ini bisa kami selesaikan atas ijin Mu ya ALLAH,” Lia terus bermunajat dalam hatinya sambil terus memainkan tasbihnya, sedangkan Sifa yang duduk diantara Lia dan Mala masih terisak. Mala selalu memberikan perhatian ke Sifa dengan sesekali menepuk-nepuk paha Sifa.

 

“Kak Mala, tadi siapa yang ngomong sama Kak Lia?” tanya Sifa memecah kebisuan. Mala menoleh ke Sifa dan tatapan keduanya beradu. Mala tersenyum.

 

“Namanya Pak Otong, tapi Kak Mala enggak tahu siapa dia,” jawab Mala.

 

“Terus kenapa dia bilang Mama masih hidup dan Cuma Kak Lia yang bisa ngebantunya?” kembali Sifa bertanya, masih menatap Mala dengan tatapan berharap Mala mau menjawabnya. Mala meraih bahu Sifa dan merangkulnya.

 

“Kak, Sifa bingung dengan kejadian ini,” ucap Sifa terisak dalam rangkulan Mala. Mala hanya bisa menahan air matanya yang sudah siap meluncur, namun dia berusaha tegar dengan mencium kepala Sifa.

 

“Sabar ya Sifa, Kakak juga bingung sama seperti kamu,” lirih Mala berkata, dan Lia yang menyimak kejadian ini menoleh ke arah keduanya dengan tatapan haru.

 

Lima belas menit kemudian, hujan berhenti dengan seketika. Fenomena alam ini sungguh menakjubkan. Bayangkan, dari suasana panas yang terik, tiba-tiba hujan mengguyur dengan lebatnya, lantas seolah langit telah menumpahkan semua rasanya, hujan itu berhenti tak berbekas. Aroma sisa hujan tak tercium, hanya genangan air serta jalan yang basah bekas terguyur air hujan.

 

Proses pemakaman segera dilakukan. Pak Setiawan dan Pak Anto yang mengusung keranda jenazah dari depan, sedangkan Ustad Abas dan Abi Tarno yang mengusung dari belakang. Iringan keluarga menyertai di belakangnya.

 

Tepat di depan liang kubur, keranda jenazah diturunkan. Di bawah sudah ada satu orang yang menanti, sehingga Pak Setiawan dan Pak Anto ikut turun untuk menerima jenazah.

 

Selagi keranda hendak dibuka, Lia melangkah mendekati keranda itu dan langsung tangannya membuka penutup keranda.

 

“Bismillahirrohmanirrohim,” ucap Lia sambil memutarkan tasbihnya ke seluruh tubuh Arya. Bu Ratmi yang menyaksikan gerakan Lia segera menarik putrinya, namun Lia menepis.

 

“Coba terus, jangan putus asa, yakinkan dirimu pada kekuatan yang kamu miliki,” suara Pak Otong terdengar dari depan liang. Semua tatapan menatapnya tak suka, seakan menyuruhnya pergi, namun Pak Otong diam mematung, hanya tatapannya saja yang terfokus pada jenazah Arya. Mala yang juga terkejut dengan keberadaan Pak Otong hanya bisa bergumam lagi dalam hatinya.

 

“Dukun itu lagi, gimana caranya dia bisa ada di sini dan kenapa sih dia masih peduli sama Tante Arya dan apa maksudnya dia?” Mala menggeleng mengusap wajahnya dengan sebelah telapak tangannya. “Ya Allah, bila kehendak Mu telah bekerja maka singkirkan semua kejahatan itu,” ucap Lia. Sekali lagi dia mengulurkan tasbihnya dan mengitari tubuh Arya dari atas hingga kaki.

 

“ALLAHUAKBAR WALILLAH ILHAM,” seru Lia menahan napasnya. Semua orang tertegun, hening sejenak penuh tanda tanya dari semua tatapan yang menanti apa yang akan terjadi selanjutnya. Namun tetap tak ada reaksi apapun, hingga Pak Haji Minan sebagai ketua masjid yang diminta untuk memimpin proses pengurusan jenazah melerai suasana.

 

“Maaf Mba Lia, tolong berpikir bijaksana, jangan mempersulit keadaan. Justru kita harus membantu almarhumah agar mudah jalannya,” kata Pak Haji Minan penuh wibawa. Lia hanya diam, namun batinya membrontak sebab dia teramat yakin bahwa Tante Arya masih hidup. Bu Ratmi segera memapah Lia menjauh beberapa langkah. Sesaat kemudian, Pak Haji Minan meneruskan perintahnya yang ada disekelilingnya.

 

“Sekarang kita turunkan jenazah Bu Arya,” pria paruh baya ini memerintahkan agar ketiga orang di bawah siap menerima jenazah.

 

“Siap kan yang di bawah?” katanya lagi, lantas dia menoleh ke tiga orang yang akan memberi jenazah dari atas. Semua orang berseru “Siap Pak Haji”.

 

Mulailah Abi Tarno, Ustad Abas, dan Pak Erno menurunkan jenazah, yang dari bawah telah siap menerima, yaitu Pak Setiawan, Pak Anto, dan seorang penjaga makam. Jenazah pun telah diterima dan akan dibaringkan. Cekatan Pak Setiawan membuka tali pocong serta membuka penutup wajah sang jenazah. Namun betapa terkejutnya Pak Setiawan ketika hendak menghadapkan muka jenazah ke arah kiblat, karena terlihat mata jenazah berkerjap-kerjap, bahkan sesaat kemudian mata bulat Arya memancarkan sinar kehidupan disertai senyumnya dan sebuah ucapan.

 

“Dimana aku?”

 

Sontak Pak Setiawan diam mematung, serta Pak Anto yang nyaris pingsan, juga sang penjaga makam yang melongo tak percaya. Sementara semua orang di atas membisu menyaksikan jenazah itu berbicara, dan kini Arya benar-benar hidup kembali.

 

 


Rina Indrawati
Rina Indrawati Rina Indrawati, seorang ibu rumah tangga yang menjadikan menulis sebagai terapi jiwa. Ada kebahagiaan tak terhingga yang dirasakannya setiap kali berhasil merangkai kata menjadi sebuah tulisan. Kebahagiaan itu pula yang mengantarkannya melahirkan dua buku solo: Rajutan Awan (2021) dan novel fiksi Rana Jelita (2024). Pengalamannya juga diperkaya dengan keikutsertaan dalam berbagai event antologi. Saat ini, Rina sedang fokus mengembangkan tulisannya di situs literasi rajutanaksara.com. Ingin mengenal Rina lebih dekat? Jangan ragu untuk menghubunginya: Ponsel: 08118411692 Instagram: rinaindrawati16 TikTok: rinaindrawati6

5 komentar

Yuk komennya, boleh banget kalau mau request atau yang lainnya. kami harapkan Masukan berupa kritikan dari kalian dengan bahasa yang membangun
Comment Author Avatar
Hifza
Jumat, 20 September 2024 pukul 08.55.00 WIB Hapus
Hifza Khalisa (082125888699)
Setelah bu Arya hidup lagi, cincin lakcnat di jari sifa bisa lepas juga dgn segala macam cara dan bantuan dzikir dari semua orang, trus karna si dukun ga jdi dpet tumbal ilmu hitamnya berbalik lg ke yg ngirim alias si Ririn terkutuk itu dia dan suami kecelakaan dan modar dah☺
Comment Author Avatar
Anonim
Jumat, 20 September 2024 pukul 13.53.00 WIB Hapus
Kelvin

085182771944

Setelah Arya hidup kembali, ilmu hitam dari cincin berbalik menyerang Ririn dan Taufik, kalau perlu Ririn dan Taufik tersiksa dulu agar menderita akibat perbuatannya sebelum ajal menjemput, tak lupa dukun hitamnya juga terkena imbasnya karena tidak bisa memberikan tumbal kepada mahluk yang dia puja, diakhir pak otong bertaubat karena melihat langsung kuasa ALLAH SWT, terimakasih banyak
Comment Author Avatar
Anonim
Minggu, 22 September 2024 pukul 10.53.00 WIB Hapus
Dewi Sekar Ayu
082315045571
Setelah Arya hidup kembali, Pak Otong menjadi taubat karena menyaksikan kuasa Allah di depan mata. Tetapi, ilmu hitam dari cincin berbalik pada si pengirim, membuat mereka merASA DITEROR. hal itu membuat Sifa dapat melepas cincinnya setelah terdengar si pengirim mati tersiksa dalam penyesalan. Hal ini membuat keluarga Sifa menyadari, bahwa hukum tabur tuai itu ada.
Comment Author Avatar
Anonim
Kamis, 26 September 2024 pukul 15.03.00 WIB Hapus
Setelah Arya bangun dari mati surinya, tentu dia dibawa pulang. Kemudian, cincin di jari Sifa bisa dilepas berkat zikir dari Lia dan yang lainnya. Di tempat persembunyian, Ririn dan Taufik mulai gelisah karena usaha mereka di ambang kegagalan. Mereka pun kembali ke dukun mereka untuk meminta arahan. Keduanya sangat terkejut disebabkan sebuah syarat.
Comment Author Avatar
Anonim
Kamis, 26 September 2024 pukul 16.01.00 WIB Hapus
Refisi

Oktaviani Dewi Gayatri
081387334648


Setelah Arya bangun dari mati surinya, tentu dia dibawa pulang. Kemudian, cincin di jari Sifa bisa dilepas berkat zikir dari Lia dan yang lainnya. Di tempat persembunyian, Ririn dan Taufik mulai gelisah karena usaha mereka di ambang kegagalan. Mereka pun kembali ke dukun mereka untuk meminta arahan. Keduanya sangat terkejut disebabkan sebuah syarat.