memilih karena panggilan hati
Matahari
berlahan-lahan tergelincir dari puncak, memancarkan teriknya di atas Jakarta
Selatan. Jam menunjukkan pukul dua
siang, nampak seorang gadis berkerudung coklat susu, Shinta namanya,
memarkirkan sepeda motornya di halaman parkir sebuah pasar tradisional di
kawasan Ciganjur. Sebagai guru taman
kanak-kanak, hari-harinya dipenuhi dengan tawa dan keceriaan anak-anak. Namun, hari ini, Shinta harus bergegas ke
pasar untuk membeli keperluan dapur yang dititipkan ibunya.
Setelah
memastikan motornya terparkir dengan aman, Shinta melangkah memasuki area
pasar. Aroma rempah-rempah dan ikan
segar langsung menyergap indranya. Ia
menuju kios pedagang ayam potong, karena ibunya berencana membuat ayam opor
untuk berbuka puasa. Keluarga Shinta
memiliki kebiasaan menjalankan puasa sunah setiap hari Senin dan Kamis.
Pasar
tampak sedikit sepi. Hanya beberapa kios
yang masih buka. Langkah Shinta terhenti
di area kios pedagang ikan. Hanya ada
dua kios ayam potong yang masih buka, satu kios daging, dan satu kios ikan
segar. Suara radio yang diputar oleh
pedagang daging menambah suasana pasar yang sepi.
Shinta
mengamati situasi di sekitarnya. Di kios
ayam potong yang tak jauh darinya, lima orang wanita sedang mengantri untuk
membeli ayam. Namun, tiga kios di
depannya tampak sepi. Hanya seorang pria
berkumis tipis dengan kulit sedikit gelap yang duduk termenung, entah apa yang
dipikirkan.
Shinta
memfokuskan tatapannya pada penjual ayam potong yang dikerumuni lima
wanita. Pedagang itu, seorang pemuda,
terlihat cekatan melayani pembeli, diselingi senda gurau yang
menyenangkan. Shinta tertegun sejenak,
lalu menolehkan tatapannya pada pedagang ayam potong satunya lagi. Dengan mengernyitkan dahi, ia menatap
meneliti raut wajah pedagang itu. Wajahnya
tampak kusut, tak bersemangat, dan sangat letih. Tersirat dari raut mukanya, pria itu tampak
sedikit lesu. Mungkinkah dia sedang
berpikir mengapa dagangannya belum laku, atau kenapa tak ada pembeli yang
mampir ke kiosnya seperti kios di sebelah?
Shinta
mengamati juga barang dagangannya.
Ayam-ayam yang terpajang terlihat segar dan besar-besar. Dalam hati, Shinta membatin, "Kasihan
Bapak ini, padahal barang dagangannya bagus dan segar, tapi kenapa ya tak ada
orang yang mau membelinya?"
Tergerak
oleh rasa iba, Shinta melangkah menuju kios yang tampak sepi.
"Permisi,
Pak," sapa Shinta ketika telah berada di depan kios. Sang pedagang tersentak kaget melihat Shinta
yang tiba-tiba berdiri di depannya. Ia
menatap tak percaya.
"Misi,
Pak, saya mau beli ayam potong," kata Shinta sekali lagi. Pria itu tergagap karena kaget dan tak
menyangka bahwa ada pembeli di hadapannya.
"Eh,
iya, Mba, maaf," kata pria itu berdiri dan bersiap melayani Shinta. "Mau beli apa, Mba?" tanyanya.
"Ayam
satu ekor berapa harganya, Pak?" tanya Shinta sambil mengamati lima ekor
ayam potong yang terpajang.
"Empat
puluh lima ribu aja, Mba," jawab pedagang itu.
"Oh,
kalau gitu saya ambil dua ekor ya, Pak, dan dipotong rada kecil aja," kata
Shinta sambil memilih ayam yang akan dibelinya.
Pedagang itu mengangguk.
"Alhamdulillah,"
ucapnya pelan, namun Shinta masih bisa mendengar ucapan syukur yang tulus dari
pedagang itu.
Setelah
Shinta menyerahkan dua ekor ayam pilihannya, sang pedagang menerimanya dan langsung
memotong ayam dengan cekatan. Ia
memasukkan ayam ke dalam plastik dan menyerahkannya pada Shinta.
"Ini
saya kasih lebihan ceker, mau, Mba?" katanya.
"Wah,
alhamdulillah, boleh, Pak," jawab Shinta senang. "Kan lumayan bisa buat sayur sop,"
lanjutnya sambil menyerahkan selembar uang seratus ribu. Sang pedagang menerimanya dan mau mencari
kembaliannya. Namun, sebelum pedagang
itu memberikan uang kembalian, Shinta lebih dahulu berkata, "Sudah, Pak,
enggak usah kembali."
Pedagang
itu tercengang menatap Shinta yang telah bersiap untuk meninggalkan kiosnya.
"Beneran
nih, Mba?" katanya tak percaya.
Shinta mengangguk.
"Alhamdulillah,
terima kasih ya, Mba, biar berkah dan banyak rejekinya, Mba," kata
pedagang itu senang. Kini, raut wajahnya
berubah ceria, seakan urat semangatnya kembali bekerja. Shinta tersenyum dan melangkah pergi.
Selagi
Shinta berjalan menuju kios sembako, tiba-tiba suara seorang wanita
memanggilnya.
"Shinta,
tunggu!"
Shinta
berhenti dan menoleh ke arah suara.
Ternyata ada Lusi, tetangganya.
Shinta tersenyum.
"Baru
belanja, Ta?" tanya Lusi setelah berada di dekat Shinta.
"Iya
nih, Lus, tadi ngajar dulu," jawab Shinta sambil meneliti barang belanjaan
Lusi. "Wah, ngeborong nih,"
goda Shinta karena melihat di tangan Lusi menenteng beberapa kantung
plastik. Lusi tertawa kecil.
"Ini
tadi nyari ayam untuk warung," jawab Lusi yang dengan ekor matanya
menunjukan belanjaannya.
"Kok
siang sih belanjanya? Trus kapan masaknya?" tanya Shinta menatap Lusi.
"Buat
besok pagi, Ta," jawab Lusi tertawa kecil.
"Kamu
tadi beli ayam dimana, Lus? Eh, maksudnya di pedagang yang mana? Soalnya tadi
aku lihat Cuma ada dua pedagang, tapi yang satu sepi dan yang satu ramai,"
tanya Shinta.
"Aku
beli di tempat yang ramai, Ta. Emang kenapa?" Lusi berkata menjawab
pertanyaan Shinta, namun dia juga balik bertanya karena penasaran apa maksud
Shinta.
"Enggak
kenapa-kenapa, kok. Eh, berapa harga seekornya?" kembali Shinta bertanya.
"Lima
puluh ribu," jawab Lusi menatap penuh tanya pada Shinta. "Kenapa, Shinta?" Lusi penasaran
dengan sikap Shinta yang sedikit menyeledik.
"Enggak,
Cuma tanya aja. Dah, yuk, aku mau beli
beras sama minyak goreng," jawab Shinta mengalihkan pembicaraan. Dalam hati, Shinta berkata, "Harganya
lebih murah lima ribu per ekornya dan ayamnya juga masih segar, tapi kenapa ya
pedagang itu sepi?" Shinta menghela
nafas. "Alhamdulillah lah, aku bisa
berbagi lewat belanja pada pedagang itu.
Semoga Allah menjadikan ini sebagai ibadahku," lanjutnya masih
dengan dirinya sendiri, lantas berjalan menuju ke kios sembako bersama Lusi.
"Kamu
mau beli apa, Ta?" tanya Lusi sambil berjalan.
"Beras
dan minyak goreng, trus, apa lagi ya?" Shinta menjawab sambil berpikir
akan beli apa saja.
"Itu
ada tiga kios yang buka, kamu biasa beli dimana, Ta?" tanya Lusi ketika
melihat ada tiga kios yang masih buka.
Jarak kios itu hanya berjeda satu atau dua kios, namun secara penataan,
ketiganya sama-sama menarik.
Satu
kios tampak dijajakan oleh seorang pemuda yang lumayan tampan, dengan beras
yang tersusun didalam bak yang tertata rapi.
Di dalam toko, terpajang dagangan lainnya.
Satu
toko dijajakan seorang pria paruh baya, dengan dagangan telur yang tertata rapi
di depan toko. Dagangan lainnya juga
tertata rapi di dalam toko.
Satu
lagi toko yang dijajakan seorang wanita lanjut usia, dengan penataan toko yang
sama dengan kedua rekannya.
Shinta
diam sejenak, menatap ketiga toko itu.
"Ta,
kamu mau beli ke toko mana?" tanya Lusi menoleh ke Shinta yang masih
tampak menatap satu persatu toko di depan.
"Ah,
kelamaan kamu, Ta. Aku duluan ya," ucap Lusi tak sabar karena melihat
Shinta masih terdiam. Lusi melangkah
mendekati toko yang dijajakan pemuda tampan.
Shinta
segera tersadar ketika melihat Lusi meninggalkannya. Lantas, ia segera melangkah ke toko yang
dijajakan oleh wanita lanjut usia.
Di
halaman parkir, kembali Shinta bertemu Lusi yang sedang bersiap-siap akan
menyebrang. Namun, keburu Shinta
memanggilnya.
"Lus,
bareng aja, aku bawa motor," kata Shinta.
Lusi menoleh tersenyum.
"Wah,
kebetulan, Ta. Oke deh, aku ikut kamu ya," sorak Lusi senang karena ada
barengan gratis pula.
Sambil
motor berjalan menuju rumah, Shinta dan Lusi mengisinya dengan obrolan ringan.
"Ta,
kamu belum jawab, kenapa tadi kamu nanya aku beli ayamnya dimana?" kata
Lusi.
"Oh,
enggak, aku merasa iba saja sama pedagang yang sepi. Dan dari raut wajahnya, sepertinya dia
ngerasakan sesuatu," jawab Shinta sambil menggendarai Honda Varionya.
"Jadi,
kamu beli ayam di kios yang sepi, Ta?" tanya Lusi. Shinta mengangguk.
"Berapa
harganya, Ta?" kembali Lusi bertanya.
"Empat
puluh lima ribu seekor, dan lumayan besar ayamnya. Trus, masih segar
juga," jawab Shinta.
"Mana
aku ditambahin ceker lagi. Kira-kira ada sih sepuluh," lanjut Shinta
menjelaskan.
"Wah,
nyesel aku, di tempat sepi malah lebih murah dan dapat bonus lagi," Lusi
merengut dan dibalas Shinta dengan tawa kecil.
"Trus,
kenapa kamu tadi beli ke pedagang yang masih muda, Lus? Apa itu langganan
kamu?" tanya Shinta.
"Bukan,
langganan aku udah tutup, Ta. Tadi aku demen aja sama si penjual, abis tampan
sih. Kan aku bisa sedikit cuci mata lihat yang kinclong gitu,
heheheheheheheh," jawab Lusi.
"Payah
kamu, Lus. Itu kan kita sama saja zina mata. Mending kamu buruan aja nikah tuh
sama Ali, kan kalian sudah lama kenalnya?" kata Shinta menggoda.
"Do'ain
aja, Ta. Rencananya bulan depan keluarga Ali mau melamar, dan kayanya akhir
tahun deh kami nikah," jawab Lusi.
"Nah,
kalau gitu jangan cuci mata melulu ah, apalagi ngelaba gitu," kata Shinta
yang membuat Lusi tertawa lepas.
"Kalau
kamu tadi kenapa beli di tempat Ibu itu, Ta?" tanya Lusi setelah keduanya
berhenti tertawa.
"Oh,
itu, aku tadi ngerasa iba aja, ingat nenek di kampung," jawab Shinta
sedikit tertahan.
"Nek
Ipah sehat kan, Ta?" kembali Lusi bertanya.
"Alhamdulillah,
kemarin kami sekeluarga baru aja pulang dari Sukabumi nengok nenek," jawab
Shinta.
Dan
obrolan lainnya yang mengisi perjalanan mereka hingga sampai di rumah.