Ditembak Tuyul
"Aduh,
siapa sih yang menabrak kakiku?" rintih Wanda sambil mengusap betisnya.
Jalan setapak yang remang-remang ini terasa semakin sunyi. Ia menoleh ke kiri,
matanya menyipit berusaha melihat dengan jelas di balik kegelapan. Tak ada
siapa pun. Hanya desiran angin malam yang menerpa tengkuknya, membuat bulu
kuduknya meremang.
"Aneh,"
gumam Wanda, mencoba menepis perasaan tidak nyaman itu. "Perasaan tadi
jelas-jelas seperti ada yang menabrak. Tapi, kok...?"
Wanda
bergidik, mengangkat kedua bahunya, dan mempercepat langkah. Bau tanah basah
setelah hujan mulai tercium, bercampur dengan aroma melati dari salah satu
rumah di dekatnya. Tiba-tiba... BRUK! Suara benda jatuh memecah kesunyian.
Jantung Wanda berdegup kencang. Gadis berbulu mata lentik itu menoleh ke
belakang, tetapi tanpa berbalik badan. Tak ada apa pun, hanya suara mengeong
kucing dari arah seberang jalan.
"Ngeong...
ngeong... ngeong..."
Suara
itu semakin nyaring, memecah kesunyian malam. Bukan hanya satu, tapi tiga
kucing sekaligus yang mengeong dengan kompak, seolah sedang mengadakan konser
dadakan di tengah jalan.
"Ngapain
sih, kucing-kucing itu?" omel Wanda, sedikit kesal. Ia menoleh ke kanan
dan kiri, memastikan tidak ada orang lain di sekitarnya. Jalanan sepi dan
mencekam. Dengan langkah tergesa, Wanda mempercepat langkahnya, berharap segera
sampai di rumah.
"Aduh!"
Wanda kembali mengeluh. Baru lima langkah, kakinya kembali terasa seperti
ditabrak sesuatu.
"Siapa,
sih, yang menabrak kakiku lagi?" gerutunya, mengedarkan pandangan ke
sekeliling. Tetap tidak ada siapa pun. Rasa mencekat kian kuat, keringat dingin
mulai membasahi telapak tangannya. Saat ia hendak melangkah, tiba-tiba matanya
menangkap sosok seorang bocah bertubuh mini dengan kepala botak plontos. Bocah
itu hanya mengenakan sempak putih yang tampak kebesaran.
"Si...
siapa dia?" Wanda tertegun, menatap bocah itu dengan rasa ingin tahu
bercampur curiga. Bocah itu berbalik badan, senyumnya mengembang saat menyapa
Wanda.
"Maaf,
Kak, enggak sengaja. Aku lagi buru-buru," ucapnya dengan nada riang. Bocah
itu mengangguk sopan, matanya menatap Wanda tanpa rasa takut.
"Kakak
dari mana dan mau ke mana?" tanyanya, tetap berdiri di tempatnya yang
hanya berjarak lima langkah dari Wanda. Entah mengapa, rasa takut yang tadi
mencengkeram Wanda lenyap seketika, digantikan rasa penasaran yang aneh. Wanda
balik menatap bocah itu dan membalas senyumnya.
"Aku
pulang kerja," jawab Wanda, sedikit mengubah posisi berdirinya agar lebih
rileks.
"Kamu
siapa? Ngapain telanjang begitu dan mau ke mana?" tanya Wanda penasaran.
Bocah
itu terkekeh. "Aku tuyul, Kak. Mau beroperasi," jawabnya ringan.
Sontak,
Wanda terperanjat dan mundur selangkah. Tuyul? Apa aku tidak salah dengar?
"Tenang,
Kak, aku enggak mau jahatin Kakak, kok," ucapnya, melihat perubahan
ekspresi di wajah Wanda.
"Aku
menampakkan diriku karena mau minta maaf sama Kakak yang tadi sudah dua kali
aku injak," sambungnya, yang justru membuat Wanda semakin merinding.
"Tu...
tu... tuyul?" ucap Wanda terbata-bata, menutup mulut dengan tangan
gemetar.
Bocah
itu mengangguk sambil tersenyum lebar. "Ya udah, Kak, aku pergi dulu, ya?
Mau beroperasi, takut dimarahi majikan."
Tuyul
itu berbalik badan, melambaikan tangan, dan dalam sekejap mata, ia menghilang
ditelan kegelapan.
Wanda
terdiam membeku di tempatnya, mencoba mencerna apa yang baru saja terjadi.
Beberapa saat kemudian, ia tersadar dan berlari secepat mungkin menuju
rumahnya, jantungnya berdegup kencang seperti genderang perang.
Keesokan
malamnya, Wanda pulang kerja di jam yang sama dan melewati jalan itu. Perasaan
ngeri melintas, tetapi rasa penasaran pada si tuyul juga memompa keingintahuan.
Sebab, desas-desus keberadaan tuyul di daerah tempat tinggalnya sedang santer
menjadi bahan gunjingan.
Di
tempat yang sama, Wanda menahan langkahnya. Sebuah sepeda motor melintas, ia
menoleh sejenak, lalu kembali memperhatikan sebuah rumah bertingkat dengan
bangunan yang cukup mewah namun tampak sepi.
Pagar
besi berwarna hitam setinggi dua meter itu menghalangi pandangan ke dalam rumah
dari bagian bawah. Wanda mendesah.
"Semalam
pertama kali aku diinjak si tuyul di sini," gumamnya, lalu diam
menyelidik.
"Apa
ini, ya, rumah majikan si tuyul?" Wanda mendongakkan kepala, melihat
bentuk lantai atas rumah itu. Jendela-jendelanya tertutup rapat, tidak ada
tanda-tanda kehidupan.
"Rumahnya
bagus. Ini rumah siapa, ya? Kok, aku tidak kenal pemiliknya?" gumamnya
terus menerus. Wanda mengedarkan pandangannya pada bangunan di hadapannya,
mencari petunjuk.
"Ke
mana, ya, tuyul itu? Apa dia sedang beroperasi mencuri?" Tak ada apa pun.
Wanda kembali melangkah. Namun, baru saja ia akan menggerakkan kakinya,
tiba-tiba dari pintu pagar muncul sosok yang dicarinya.
"Hai,
Kak, baru pulang kerja ya?" sapa tuyul itu sambil melangkah mendekati
Wanda.
Melihat
sang tuyul mendekat, refleks Wanda mengapit tas selempangnya. Tuyul tertawa
ringan.
"Hahaha,
tenang, Kak, aku tidak mau mengambil uang Kakak, kok," terangnya sambil
tersenyum menatap Wanda.
"Memang
kenapa kamu tidak mau mengambil uangku?" tanya Wanda penasaran.
"Karena
Kakak cantik dan baik hati," jawab si tuyul polos, membuat Wanda semakin
tidak mengerti. Apa maksudnya? Kenapa dia begitu baik padaku?
Dari
tatapan Wanda, si tuyul merasa ada sesuatu yang harus diceritakannya.
"Kak,
kita ke situ, yuk," sorot mata si tuyul menunjuk sebuah pohon beringin
yang tampak angker di seberang jalan. Pohon itu berdiri tegak di depan lahan
kosong yang gelap dan dipenuhi semak belukar.
"Ngapain?"
Wanda ingin sekali menolak, tetapi entah mengapa kakinya terasa berat untuk
digerakkan. Apa yang sebenarnya dia inginkan? pikirnya. Lidahnya kelu, dan
tanpa sadar ia mengekor si tuyul.
Sesampai
di bawah pohon itu, tuyul bersandar di batang pohon yang cukup besar, sementara
Wanda berdiri di hadapannya. Mereka saling bertatap. Suasana malam yang sepi,
dengan desiran angin tipis, menambah rasa penasaran Wanda. Lolongan anjing dari
kejauhan terdengar memilukan, membuat bulu kuduk Wanda kembali meremang.
"Ngapain
tuyul ini mengajakku ke sini?" batinnya. Wanda menolehkan kepala ke kanan
dan kiri, memastikan tidak ada siapa pun yang mengawasi mereka.
"Tenang,
Kak, tidak ada hantu, kok, apalagi kuntilanak," kata tuyul itu sopan,
melihat air muka Wanda yang sedikit pucat.
"Mbak
Kunti itu tidak ada di daerah sini. Di area ini adalah kekuasaanku,"
lanjutnya, membuat Wanda menatapnya tak mengerti.
"Canda,
Kak," tawa tuyul itu renyah. Entah mengapa, Wanda tidak merasakan
ketakutan lagi, ia seakan sedang bersama seorang teman lama.
"Kak,"
tuyul itu mulai menunjukkan keseriusannya. Wanda menatapnya lekat-lekat.
"Kakak
itu benar-benar cantik, loh. Aku mau jadi pacar Kakak," ucap si tuyul
dengan sungguh-sungguh.
Sontak,
Wanda memelototinya. Tuyul tertawa dan tersenyum.
"Serius,
Kak, aku lagi nembak Kakak, nih," ujarnya sambil mengedipkan mata dan
tersenyum menggoda.
"Kakak
mau tidak jadi pacarku?" tanyanya serius. Wanda masih diam, tidak mengerti
dengan apa yang sedang terjadi.
"Benar,
Kak, aku akan setia mendampingi Kakak dan berhenti beroperasi," rayu tuyul
meyakinkan.
Wanda
mendesah dan menggeleng. "Mimpi apa aku semalam?" gumamnya dalam
hati.
"Malam-malam
begini, kok, aku malah ditembak sama tuyul, sih?" lanjutnya. Sikap diam
Wanda, dengan ekspresi wajah seperti berpikir, membuat tuyul penasaran.
"Kakak
masih jomblo, kan?" tanyanya memecah lamunan Wanda.
Wanda
menggeleng keras. "Aku pulang dulu," ucapnya, tersadar dengan situasi
yang menimpanya. Wanda berbalik badan dan melangkah cepat meninggalkan tuyul
yang tetap menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan.
Sambil
berjalan, Wanda tak berhenti memikirkan apa yang baru saja dialaminya.
"Masa,
iya, aku pacaran sama tuyul? Enggak jelas!" makinya dalam hati.
Posting Komentar