Serpihan Masa Lalu
Di
lobi Stasiun Tugu Yogyakarta, seorang wanita berkerudung hijau pupus duduk
termenung. Sebuah koper berwarna hitam legam tergeletak di sisinya, menjadi
saksi bisu perjalanan yang akan segera dimulainya. Natalia, wanita berkacamata
itu, menggenggam erat ponselnya sambil menunggu kereta Taksaka Malam menuju
Jakarta. Tiga tahun sudah ia habiskan di kota pelajar ini, mengikuti Aryo,
suaminya, yang ditugaskan di sana. Namun, lima bulan lalu, takdir merenggut
Aryo dalam sebuah kecelakaan tabrak lari yang tragis. Pernikahan yang awalnya
dijodohkan itu telah menumbuhkan cinta yang mendalam, dan kepergian Aryo
meninggalkan luka menganga di hatinya.
Pandangan
Lia menyapu lobi stasiun yang mulai ramai. Tiga kereta api jarak jauh tampak
gagah terparkir di jalurnya. Ia melirik ponsel di tangannya. "Masih satu
setengah jam," desahnya lirih. Lia menyandarkan punggungnya, memejamkan
mata, dan membiarkan kenangan bersama Aryo menyeruak. Senyum kecil tersungging
di bibirnya saat membayangkan siluet Aryo menggandengnya mesra, pertama kali
mereka menginjakkan kaki di Yogyakarta. Pernikahan ini memang bermula dari
perjodohan, namun Aryo selalu berusaha memberikan cinta dan menciptakan suasana
romantis, hingga akhirnya Lia pun jatuh cinta padanya. Kebahagiaan itu terasa
begitu nyata, hingga tragedi maut merenggutnya. Rasa sakit itu masih terasa
begitu perih, terutama saat menyaksikan Aryo menghembuskan napas terakhir di
rumah sakit. Kini, Lia ingin mengubur semua kenangan itu dan memulai hidup baru
di Jakarta. Ia menggigit bibirnya, berusaha menahan air mata yang mulai
mendesak keluar. Kemudian, ia kembali menunduk, menenggelamkan diri dalam dunia
maya, mencari pelipur lara di balik layar ponselnya.
Pengumuman
dari pengeras suara memecah lamunannya. Kereta Taksaka Malam akan segera tiba.
Lia bergegas merapikan diri, menyambut 'ular besi' yang akan membawanya kembali
ke kota yang menyimpan sejuta kenangan, baik pahit maupun manis.
Dua
puluh menit kemudian, Lia telah duduk di kursinya, sesuai dengan nomor yang
tertera di tiket. "Alhamdulillah... Selamat tinggal, Yogya. Terima kasih
untuk semua kenangan," bisiknya pelan, sambil menatap lobi stasiun yang
ramai dengan aktivitas. Tepat sesuai jadwal, kereta eksekutif itu pun melaju,
membelah malam menuju Stasiun Gambir, Jakarta.
Kereta
malam itu tiba di Stasiun Gambir tepat waktu. Saat menjejakkan kaki di peron,
Lia tersenyum getir. Bayangan almarhum mamanya hadir, seolah menyambutnya
dengan senyum hangat. Lia mengerjap, berusaha mengusir bayangan itu, namun
ketika membuka mata, justru wajah Didi-lah yang muncul, tersenyum padanya. Lia
menggigit bibir, kembali memejamkan mata, mencoba mengenyahkan sosok pria yang
pernah menjadi cinta pertamanya.
"Kenapa
Didi selalu menghantuiku?" gerutunya sambil merapikan barang bawaannya.
Kereta
berhenti di jalur 4, dan para penumpang berhamburan keluar. Lia menarik kopernya,
menyusuri lobi stasiun, menuju lift, dan keluar dari area stasiun. Pukul 02.45
dini hari, namun parkiran stasiun sudah riuh dengan para pengemudi transportasi
yang menawarkan jasa. Lia memilih taksi berlogo mahkota, berniat menuju rumah
orang tuanya yang kini kosong. Sejak Bu Aryani, mama Lia, meninggal, rumah di
kawasan Jakarta Selatan itu memang jarang ditinggali. Hanya Laras, adik
sepupunya, yang datang seminggu sekali untuk membersihkan rumah.
Lia
duduk di dalam taksi, dan sang sopir mulai menjalankan kendaraan. Tiba-tiba,
sopir itu menyapa, "Lia?"
Refleks,
Lia mengangkat kepala dan menatap sopir itu melalui kaca spion.
"Agus?" ucapnya tak percaya, mengenali wajah itu.
Agus
tersenyum, menoleh ke belakang. "Apa kabar, Li?" tanyanya sopan.
Lia
mendesah. "Baik," jawabnya singkat, lalu membuang pandang ke luar
jendela.
"Mau
pindah duduk di depan?" Agus menawarkan.
Lia
menggeleng. "Tidak usah, aku di sini saja."
"Kita
ke rumahmu, atau mau ke mana?" Agus memastikan tujuan.
"Ke
rumah mama," jawab Lia, berusaha menenangkan jantungnya yang berdegup
kencang. Pertemuan dengan Agus adalah kejutan besar. Pria yang dulu menyatakan
cinta padanya, namun memilih menikahi wanita lain karena tak berani melawan
ibunya.
"Sendiri
saja, Li?" Agus mencoba membuka percakapan.
"Iya,"
jawab Lia singkat, mengalihkan perhatian dengan mengamati pemandangan jalanan
Jakarta yang sepi.
"Suamimu
di mana?" tanya Agus, sesekali melirik wanita yang masih tampak cantik
itu.
"Baru
lima bulan lalu Mas Aryo meninggal," jawab Lia, yang masih asyik
memperhatikan lalu lintas malam.
"Innalillahi
wa inna ilaihi raji'un," ucap Agus, menoleh ke arah Lia. Mobil berhenti
karena lampu merah, dan Agus memanfaatkan kesempatan itu untuk menatap Lia
lekat-lekat.
"Turut
berduka, Li." Lia mengangguk. Setelah itu, keduanya terdiam, tenggelam
dalam pikiran masing-masing.
Setengah
jam kemudian, taksi berlogo mahkota itu berhenti di depan rumah Lia. Setelah
melihat argo, Lia mengambil uang dan menyerahkannya kepada Agus.
"Ini,
Gus, ongkosnya."
Agus
menoleh, tersenyum. "Tidak usah, Li," tolaknya. Ia membuka pintu,
berjalan ke bagasi belakang, dan menurunkan koper Lia. Lia membuka pintu di
sisi kirinya, setelah meletakkan uang di kursi sopir.
"Terima
kasih ya, Gus," ucap Lia sambil membuka gembok pagar.
"Santai
saja, Li. Eh, kamu di rumah sendiri, dong?" tanya Agus, memperhatikan
rumah minimalis bercat putih di depannya.
"Iya,"
jawab Lia, mengambil kopernya dan menariknya masuk.
"Oh
iya, Gus, uangnya sudah aku letakkan di kursi, ya." Lia menoleh sejenak
sebelum membuka pintu rumah. Agus masih berdiri, memperhatikannya.
"Lia,"
panggil Agus. Lia membalikkan badan, menatapnya.
"Kenapa,
Gus?" tanyanya. Agus menarik napas, tersenyum.
"Kamu
masih secantik dulu, Li," ucapnya, menatap Lia tanpa berkedip.
Lia
membalas dengan senyum sinis. "Sudah ya, aku masuk dulu. Hati-hati di
jalan." Lia melangkah masuk dan menutup pintu.
Di
balik pintu, Lia menyandarkan punggungnya, mencoba meredakan perasaannya.
Jantungnya berdebar tak karuan, dan telapak tangannya terasa dingin.
"Ah,
kenapa aku jadi begini?" omelnya pada diri sendiri, berusaha menepis
perasaan aneh yang muncul. Namun, rasa penasaran pada Agus membuatnya menyibak
tirai jendela. Bola matanya membulat melihat Agus masih berdiri tegak di tempat
yang sama.
"Tidak
jelas orang ini, kenapa tidak pergi?" gerutunya, kembali bersandar di
pintu, mengatur napas. Setelah beberapa saat, ia kembali menyibak tirai. Agus
masih di sana.
"Tidak
jelas!" Lia kembali mengomel. Tiga kali ia melakukan hal yang sama,
membuatnya semakin penasaran dan kesal.
"Dasar
anak gila!" omelnya, menggunakan panggilan masa remajanya untuk Agus.
Sepuluh menit kemudian, barulah terdengar suara mesin mobil. Lia kembali
menyibak tirai, dan perasaan lega menyelimutinya saat mobil Avanza itu
benar-benar pergi.
"Alhamdulillah..."
Lia menarik napas panjang, lalu melangkah masuk.
Seminggu
berlalu, Lia mulai beradaptasi dengan kehidupan di Jakarta. Berbekal ijazah dan
pengalaman, ia melamar menjadi guru di sebuah taman kanak-kanak yang tak jauh
dari rumahnya. Hari ini adalah hari pertamanya mengajar.
Satu
jam sebelum bel masuk, Lia sudah tiba di sekolah. Setelah merapikan peralatan
mengajar dan berbasa-basi dengan dua rekan kerjanya, ia melangkah ke gerbang
sekolah untuk menyambut murid-muridnya. Saat ia berdiri di depan pagar, sebuah
Honda Jazz berwarna putih berhenti. Lia memperhatikan mobil itu, dan tak lama
kemudian seorang anak perempuan berseragam keluar, menggendong tas sekolah.
"Assalamu'alaikum,"
sapa Lia, menyambut anak perempuan berkulit putih itu. Anak itu hanya
menatapnya dengan tatapan penuh tanya. Lia tersenyum, menyadari bahwa anak itu
belum mengenalnya.
"Hai,
aku Ibu Lia, guru baru di sekolah ini," ucap Lia sambil mengusap bahu
muridnya. Anak itu masih terdiam.
"Siapa
nama kamu?" tanya Lia lembut, berusaha memberikan kenyamanan pada anak
perempuan yang rambutnya dikuncir dua dengan boneka Hello Kitty sebagai ikat
rambut.
"Lia,"
jawab anak itu dengan ekspresi menyelidik. Lia terkejut mendengar nama itu,
namun ia berusaha menyembunyikannya. Ia tersenyum lembut dan berkata,
"Wah, kalau begitu nama kita sama, ya!" Lia menggandeng bahu anak
itu.
"Boleh
Ibu tahu siapa nama panjang kamu?"
"Natalia
Artadina," jawab anak itu, yang mulai merasa nyaman dengan sentuhan Lia.
Lia tersenyum.
"Namanya
bagus sekali." Anak itu mengangguk.
Mobil
Honda Jazz itu masih terparkir di depan gerbang sekolah. Kaca jendela mobil
diturunkan, dan seorang pria berjanggut tipis menyapa putrinya.
"Abi
jalan dulu, ya, De." Pamit ayah Lia kecil. Anak itu menoleh dan
mengangguk. Lia ikut menoleh, dan betapa terkejutnya ia saat melihat siapa yang
ada di dalam mobil itu.
"Didi..."
lirihnya. Didi pun terkejut menyadari bahwa guru putrinya adalah Lia.
Untungnya,
Bu Hafni datang dan menyelamatkan situasi. "Eh, Lia sudah datang.
Assalamu'alaikum," sapa Bu Hafni lembut. Lia kecil mengulurkan tangan untuk
menyalami Bu Hafni dan mencium punggung tangan wanita berkacamata itu.
"Lia
diantar siapa?" tanya Bu Hafni.
"Abi,
Bu Hafni," jawab Lia kecil, berbalik badan mencari keberadaan mobil
ayahnya. Didi segera memarkirkan mobilnya dan berniat turun.
Tak
lama kemudian, Didi melangkah mendekati gerbang sekolah.
"Assalamu'alaikum," salam Didi pada Lia yang berdiri di depan
gerbang. Meski jantungnya berdebar kencang, Lia tetap tersenyum dan menjawab
salam itu. Kehadiran Bu Hafni menyelamatkan Lia dari rasa gugupnya.
"Wa'alaikumsalam.
Eh, tumben Bapak yang antar," kata Bu Hafni.
Didi
tersenyum. "Iya, Bu. Maminya lagi ada tamu di rumah," jawab Didi.
"Oh
iya, Pak. Ini guru baru kami, dan akan mengajar di kelas Lia. Kebetulan namanya
juga Ibu Lia," Bu Hafni memperkenalkan Lia pada Didi. Lia mengangguk.
"Saya
Didi, abinya Lia," kata Didi, mengulurkan tangan. Lia menyambutnya tanpa
berkata apa pun.
"Apa
kabar, Li?" tanya Didi, seolah mereka saling mengenal.
"Baik,"
jawab Lia gugup. Sementara Lia kecil telah melangkah masuk, melambaikan tangan
pada Didi.
"Bye,
Abi."
"Bye,
Sayang. Belajar yang baik, ya," balas Didi, melambaikan tangan.
Bersamaan
dengan itu, dua murid lain datang. Lia menyambut mereka bersama Bu Hafni.
"Maaf,
Bu Hafni, boleh saya pinjam Bu Lia sebentar?" pinta Didi saat situasi
sudah agak sepi.
Bu
Hafni mengangguk. "Silakan, Pak." Lia menoleh ke arah teman kerjanya,
seolah ingin memprotes.
"Ayo,
Li, sebentar saja," ajak Didi menatap Lia, lalu melangkah ke ruang tunggu.
Tanpa bisa menolak, Lia mengikutinya dengan jantung berdebar.
"Apa
kabar?" tanya Didi membuka percakapan. Lia menghela napas, mencoba
menguasai perasaannya, dan membuang pandang ke arah lain.
"Katanya
kamu pindah ke Yogya sama suami kamu, tapi kok sekarang mengajar di sini?"
Didi bertanya dengan nada penasaran.
"Suami
aku sudah meninggal," jawab Lia tanpa menoleh.
"Innalillahi
wa inna ilaihi raji'un. Turut berduka, Li," jawab Didi, terus menatap Lia
meski ia tak membalas tatapannya.
"Berarti
sekarang kamu tinggal sendiri?" lanjut Didi. "Eh, maaf, mami kamu
juga sudah meninggal, kan?" Didi memperjelas.
"Iya,"
jawab Lia, mengubah posisi berdirinya.
"Aku
mau mengajar, Di. Maaf," Lia beranjak pergi, namun Didi menahannya dengan
memegang lengannya.
"Tunggu,
Li!" Lia menghentikan langkahnya, menepis tangan Didi dengan menarik
lengannya.
"Maaf,
Li. Aku terpaksa menikahi Zahra karena utang budi bapak sama kakeknya
Zahra," Didi mencoba memberikan penjelasan tentang masa lalu mereka.
"Aku
tidak bertanya, Di. Toh, memang ini kehendak Allah," respons Lia ketus.
"Berapa
anak kamu, Li?" tanya Didi, mengalihkan pembicaraan karena menyesal telah
mengatakan hal tadi.
"Aku
belum punya anak. Kalau kamu?" balik Lia bertanya.
"Dua.
Dan Lia itu anak bungsuku," jawab Didi. Lia tersenyum sinis.
"Natalia
Artadina itu nama kamu, Li. 'Art' dari Didi, 'Dina' dari Natalia," jelas
Didi. Lia menoleh, memelototinya.
"Segitunya
kamu menamai anak kamu?" protes Lia, masih menatap Didi lekat-lekat.
Didi
tersenyum. "Itu karena aku benar-benar mencintaimu, Li. Dan biarkan cinta
itu ada pada nama putriku," jelas Didi. Tanpa merespons apa pun, Lia
berbalik badan dan melangkah meninggalkan Didi.
Menjelang
tidur, Lia tak bisa memejamkan mata. Bayangan Didi terus berputar di benaknya.
"Ah,
kenapa sih aku ini?" omelnya sambil memukuli guling yang dipeluknya.
"Kenapa
jadi begini ceritanya? Kemarin Agus, hari ini Didi..." Ia menenggelamkan
wajahnya di guling.
"Ya
Allah, bisa-bisa setiap hari aku ketemu sama si dodol itu," gumam Lia.
Bagaimana perasaannya tidak tercabik, dua pria dari masa lalunya kini hadir
kembali dalam hidupnya. Agus, yang pertama kali bertemu di Stasiun Gambir dan
sudah tiga kali mampir ke rumahnya dengan alasan kebetulan lewat. Agus juga
bercerita bahwa istrinya kabur dengan pria lain dan mereka sudah bercerai,
bahkan Agus menunjukkan surat cerainya. Entahlah apa maksud Agus, Lia hanya
mencoba menata hatinya. Sementara Didi adalah orang tua murid dari anak
didiknya.
"Ya
Allah, aku harus bagaimana?" keluhnya sambil bangun dan duduk di tepi
ranjang.
"Apa
iya serpihan masa lalu itu harus aku rapikan lagi?" gerutunya sambil
menggigit bibir.
"Ya
Allah, aku harus apa dan bagaimana?" tanyanya pada diri sendiri sambil
menutup wajah dengan kedua tangannya. Lalu Lia berdiri dan melangkah ke kamar
mandi, berniat shalat sunah untuk menenangkan diri.
Posting Komentar